Resesi global pada 2023 sangat mungkin terjadi, mengingat inflasi yang tinggi saat ini, pertumbuhan rendah, utang tinggi, dan lingkungan fragmentasi tinggi mengurangi insentif untuk investasi yang dibutuhkan untuk kembali ke pertumbuhan dan meningkatkan standar hidup bagi yang paling rentan di dunia.
Jakarta (Indonesia Window) – Dua pertiga dari kepala ekonom sektor swasta dan publik yang disurvei oleh Forum Ekonomi Dunia (World Economic Forum/WEF) memperkirakan resesi global akan terjadi pada tahun 2023, kata penyelenggara pertemuan tahunan WEF di Davos, Swiss, pada Senin.
Pertemuan tahunan WEF 2023 yang mengumpulkan para pemimpin bisnis dan pemerintah tersebut digelar pada 16-20 Januari.
Sekitar 18 persen menganggap resesi dunia “sangat mungkin” – lebih dari dua kali lipat dari survei sebelumnya yang dilakukan pada September 2022. Hanya sepertiga responden survei yang melihatnya sebagai tidak mungkin tahun ini.
“Inflasi tinggi saat ini, pertumbuhan rendah, utang tinggi, dan lingkungan fragmentasi tinggi mengurangi insentif untuk investasi yang dibutuhkan untuk kembali ke pertumbuhan dan meningkatkan standar hidup bagi yang paling rentan di dunia,” kata managing director WEF Saadia Zahidi dalam sebuah pernyataan yang menyertai hasil survei tersebut.
Survei WEF didasarkan pada 22 tanggapan dari sekelompok ekonom senior yang diambil dari lembaga internasional termasuk Dana Moneter Internasional (IMF), bank investasi, perusahaan multinasional, dan kelompok reasuransi.
Survei tersebut dilakukan setelah Bank Dunia (World Bank) pekan lalu memangkas perkiraan pertumbuhan 2023 ke tingkat yang mendekati resesi untuk banyak negara karena dampak kenaikan suku bunga bank sentral meningkat, perang Rusia di Ukraina berlanjut, dan mesin ekonomi utama dunia tergagap.
Definisi tentang apa yang dimaksud dengan resesi berbeda-beda di seluruh dunia tetapi umumnya mencakup prospek ekonomi yang menyusut, mungkin dengan inflasi tinggi dalam skenario ‘stagflasi’.
Mengenai inflasi, survei WEF melihat variasi regional yang besar, yakni proporsi perkiraan inflasi tinggi pada tahun 2023 berkisar dari hanya 5 persen untuk China hingga 57 persen untuk Eropa, di mana dampak kenaikan harga energi tahun lalu telah menyebar ke ekonomi yang lebih luas.
Mayoritas ekonom melihat pengetatan kebijakan moneter lebih lanjut di Eropa dan Amerika Serikat (AS), (masing-masing 59 persen dan 55 persen), dengan pembuat kebijakan terperangkap di antara risiko pengetatan yang terlalu banyak atau terlalu sedikit.
Sumber: Reuters
Laporan: Redaksi