Banner

Fokus Berita – Isu pemerintahan belum tuntas, fase kedua rencana perdamaian Gaza usulan Trump terhambat

Asap membubung tinggi pascaserangan udara Israel di sebelah timur Gaza City pada 19 April 2025. (Xinhua/Mahmoud Zaki)

Tujuan pemerintah Israel di Gaza adalah untuk melanjutkan perang, meski dalam intensitas rendah, serta untuk mencegah kemajuan rencana perdamaian Trump dari fase pertama ke fase kedua, yang akan memajukan proses diplomatik yang berpotensi berujung pada pembentukan negara Palestina.

 

Yerusalem, Wilayah Palestina yang diduduki (Xinhua/Indonesia Window) – Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump pada Rabu (3/12) di Gedung Putih mengatakan bahwa fase kedua dari rencana perdamaian Gaza “akan segera terlaksana.” Media berspekulasi bahwa fase kedua tersebut dapat terlaksana sebelum Natal dan menjelang kunjungan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu berikutnya ke Washington.

Namun, para analis memperingatkan bahwa di balik langkah-langkah diplomatik ini terdapat kesenjangan yang tajam antara aspirasi Washington dan realitas lapangan di Gaza.

Perbedaan pendapat masih terlihat di antara para aktor regional. Contohnya dapat dilihat pada pembukaan kembali perlintasan Rafah. Israel pada Rabu mengumumkan akan membuka kembali perlintasan antara Gaza dan Mesir itu dalam beberapa hari ke depan, dengan proses keluar akan dikoordinasikan bersama otoritas Mesir. Israel juga mengatakan bahwa perlintasan tersebut akan beroperasi satu arah saja, sehingga memungkinkan warga Palestina keluar dari Gaza tetapi melarang mereka masuk ke Gaza.

Kendati demikian, Mesir membantah telah berkoordinasi dengan Israel terkait pembukaan kembali perlintasan Rafah. Kepada surat kabar harian Israel Haaretz, seorang sumber Mesir mengatakan perlintasan tersebut seharusnya beroperasi seperti saat gencatan senjata sementara yang dimulai pada Januari, yakni terbuka dua arah dan dikelola di sisi Gaza oleh Otoritas Palestina (Palestinian Authority/PA) dengan dukungan dari Misi Bantuan Perbatasan Uni Eropa (European Union Border Assistance Mission). Sumber tersebut menganggap pernyataan Israel sebagai “gertakan yang bertujuan untuk menenangkan unsur-unsur ekstremis di dalam pemerintah Israel.”

Banner

Apa yang tampak seperti perselisihan teknis ini sebenarnya merupakan perebutan pemerintahan Gaza di masa depan. Roee Kibrik, kepala penelitian di Mitvim, Institut Kebijakan Luar Negeri Regional Israel, berkata, “Sudah cukup jelas bahwa tujuan pemerintah Israel di Gaza adalah untuk melanjutkan perang, meski dalam intensitas rendah, serta untuk mencegah kemajuan rencana Trump dari fase pertama ke fase kedua, yang akan memajukan proses diplomatik yang berpotensi berujung pada pembentukan negara Palestina.”

Perdebatan mengenai pembukaan perlintasan Rafah satu arah menunjukkan sejauh mana Otoritas Palestina dapat dicegah membangun kehadiran sekecil apa pun di Gaza, sesuatu yang diasumsikan oleh rencana Trump sebagai titik awal.

Implikasinya cukup signifikan. Bagi sebagian elemen pemerintah Israel, keberadaan Hamas yang terus berlanjut, yang meskipun lemah tetapi masih utuh itu, memiliki tujuan politis dengan membenarkan operasi militer yang masih berlangsung dan menghalangi peran Otoritas Palestina, yang keterlibatannya dapat membuka pintu bagi pemerintahan alternatif di Gaza, ujar kalangan analis.

“Ada gencatan senjata, tetapi dengan lampu hijau dari pihak AS, Israel tetap memiliki kebebasan bertindak saat memantau atau menemukan aktivitas yang mengancam dari Hamas,” ujar Eyal Zisser, wakil rektor Universitas Tel Aviv.

Menurut sejumlah pejabat Israel, pendekatan Netanyahu berfokus pada negosiasi mengenai rincian prosedural, dengan menggunakan keberatan teknis untuk menunda kemajuan substantif.

Kesenjangan ini mencerminkan apa yang disebut oleh beberapa pakar sebagai realitas “Garis Kuning”. Tanpa transisi ke fase kedua atau pelucutan senjata Hamas, situasi berisiko tetap stagnan.

Banner

Ahmed Alkhatib, resident senior fellow di Pusat Rafik Hariri untuk Timur Tengah di wadah pemikir Atlantic Council, menjelaskan bahwa pembagian Gaza secara informal, dengan Hamas tetap memegang kendali atas wilayah-wilayah di mana mayoritas warga Palestina tinggal, mungkin akan menguat menjadi pengaturan jangka panjang, terlepas dari komite atau jadwal yang diumumkan.

Trump mungkin akan tetap melanjutkan deklarasi fase kedua, tetapi hal itu tidak akan menyelesaikan masalah inti mengenai siapa yang memerintah Gaza, bagaimana keamanan dijaga, atau apakah ada jalan menuju pembentukan negara Palestina, kata para analis.

Isu-isu fundamental ini masih belum terselesaikan. Langkah-langkah prosedural mungkin dapat mendorong aktivitas diplomatik, tetapi perubahan nyata di Gaza memerlukan pergeseran niat dari semua pihak, sebuah pergeseran yang saat ini masih di luar jangkauan, ungkap para analis lebih lanjut.

Laporan: Redaksi

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Banner

Iklan