Banner

Bantah peringatan IAEA, presiden Iran sebut negaranya tak lakukan pengayaan uranium

Masoud Pezeshkian menyampaikan pidato pengukuhannya usai diambil sumpah sebagai presiden kesembilan Iran di gedung parlemen Iran di Teheran, Iran, pada 30 Juli 2024. (Xinhua/Shadati)

Iran tidak berniat mengembangkan senjata nuklir, menepis peringatan dari Badan Energi Atom Internasional (International Atomic Energy Agency/IAEA) baru-baru ini mengenai pengayaan uranium negara tersebut, yang mencapai tingkat kemurnian 60 persen.

 

Teheran, Iran (Xinhua/Indonesia Window) – Presiden Iran Masoud Pezeshkian pada Senin (16/9) menegaskan bahwa negaranya tidak berniat mengembangkan senjata nuklir, menepis kekhawatiran internasional terkait program pengayaan uranium Iran.

“Kami telah berulang kali menegaskan bahwa kami tidak mengembangkan senjata nuklir,” kata Pezeshkian dalam sebuah konferensi pers di Teheran. “Tujuan kami adalah memenuhi kebutuhan teknis dan ilmiah kami.”

Pernyataan Pezeshkian itu dilontarkan untuk menanggapi peringatan dari Badan Energi Atom Internasional (International Atomic Energy Agency/IAEA) baru-baru ini mengenai pengayaan uranium Iran hingga mencapai tingkat kemurnian 60 persen.

Pezeshkian menyatakan bahwa Iran tetap berkomitmen pada kerangka kerja yang telah ditetapkan di dalam kesepakatan nuklir 2015, yang secara resmi dikenal sebagai Rencana Aksi Komprehensif Gabungan (Joint Comprehensive Plan of Action/JCPOA). Namun, dia memperingatkan bahwa keberlanjutan kepatuhan Iran ini bergantung pada negara-negara penanda tangan lainnya dalam menghormati kewajiban mereka.

Banner

“Jika Amerika Serikat (AS) dan beberapa negara Eropa tertentu memenuhi komitmen mereka, kami juga akan melakukan hal yang sama,” kata Pezeshkian. “Jika mereka tidak memenuhi komitmen, kami juga tidak.”

Presiden Iran itu juga membahas program rudal negaranya, yang menjadi perdebatan dengan kekuatan-kekuatan Barat. Meski mengakui ada tekanan dari AS dan negara-negara Eropa untuk membatasi pengembangan rudal, Pezeshkian bersikeras bahwa Iran memiliki hak untuk membangun kemampuan pertahanannya.

Menurut JCPOA, yang ditandatangani pada 2015, Iran setuju untuk membatasi program nuklirnya dengan imbalan keringanan sanksi. Keberlanjutan JCPOA terancam sejak AS menarik diri dari kesepakatan tersebut pada 2018 di bawah kepemimpinan mantan presiden Donald Trump, yang kembali menjatuhkan sejumlah sanksi kepada Teheran.

Berbagai upaya untuk menghidupkan kembali kesepakatan tersebut mengalami kebuntuan sejak Agustus 2022, kendati telah dilakukan beberapa putaran negosiasi di Wina. Karena ketegangan terus berlanjut, masyarakat internasional terus memantau aktivitas nuklir Iran dengan pengawasan ketat.

Laporan: Redaksi

Banner

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Banner

Iklan