Pulau Sumba sudah dihuni manusia setidaknya sejak 2.800 tahun lalu, dengan pertanggalan tertua ditemukan di Situs Melolo.

 

Bogor, Jawa Barat (Indonesia Window) – Peneliti dari Pusat Riset Arkeologi Lingkungan, Maritim, dan Budaya Berkelanjutan (PR ALMBB) pada Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Retno Handini, melakukan riset tentang kekayaan prasejarah peninggalan Austronesia dan budaya berkelanjutan di Pulau Sumba, Nusa Tenggara Timur. Penelitian itu berfokus di tiga dari empat situs di Pulau Sumba, yaitu Situs Lambanapu, Mborombaku, dan Melolo.

Hasil penelitian menyimpulkan bahwa Pulau Sumba sudah dihuni manusia setidaknya sejak 2.800 tahun lalu, dengan pertanggalan tertua ditemukan di Situs Melolo. “Sementara Situs Lambanapu dihuni sekitar sekitar 2.600 tahun lalu, dan Situs Mborombaku relatif lebih muda, sekitar 1.300,” ujar Retno dalam sebuah temu wicara bertajuk ‘Prasejarah Austronesia di Sumba & Budaya Berkelanjutan’ di Jakarta, pada Rabu (10/7), dikutip dari laman BRIN, Ahad.

Lebih lanjut, Retno menjelaskan bahwa BRIN telah melakukan eskavasi di Situs Melolo, yang menghasilkan penemuan 26 kerangka individu berusia ratusan ribu tahun serta benda-benda kuno berbentuk kendi yang diukir.

Sementara itu, ekskavasi di Situs Lambanapu dilakukan pada 2015-2016, di mana ditemukan 52 makam leluhur suku Sumba dan 58 kuburan tanpa wadah makam. “Di sini juga ditemukan benda-benda peninggalan seperti cincin, mutiara, dan kendi tanah liat yang berhias,” jelas Retno.

Situs Mborombaku, sebuah lokasi dekat Sungai Kadahang, Kecamatan Haharu, Kabupaten Sumba Timur, diperkirakan menjadi tempat leluhur Sumba pertama kali mendarat. “Kami juga menemukan peninggalan keramik seladon Fujian dari Dinasti Yuan abad ke-13,” tambahnya.

Retno juga menguraikan budaya berkelanjutan di Sumba yang masih bertahan hingga saat ini, seperti kubur batu (reti), sirih pinang, katoda, rumah adat, ritual tengi watu (tarik batu), ritual hamayang, dan ritual kematian. “Tradisi budaya yang masih bertahan dan berkelanjutan di Sumba diperkuat oleh kepercayaan asli mereka, Marapu, yang sangat menghormati leluhur dan mempertahankan ajaran nenek moyang dalam kehidupan sehari-hari mereka,” paparnya.

Kepala Pusat Riset ALMBB BRIN Marlon Ririmase menegaskan bahwa prasejarah Austronesia merupakan bagian fundamental dalam riset arkeologi, terutama terkait asal-usul masyarakat dan budaya Nusantara. “Ini menjadi variabel penting dalam keragaman budaya masyarakat tradisional Indonesia,” ujarnya.

Dia menambahkan bahwa ada relasi erat antara migrasi penutur Bahasa Austronesia dengan kawasan sekitar, terkait pengetahuan dan tradisi maritime, serta teknologi bahari tradisional masyarakat Indonesia.

“Hal seperti ini belum banyak muncul dalam temuan arkeologi di wilayah Sumba. Namun, ini menjadi prospek dalam riset-riset ke depan yang bisa ditindaklanjuti,” katanya.

Marlon juga menekankan pentingnya ekspresi budaya material yang berciri monumental, sebagaimana diwakili oleh tradisi megalitik (3.000-1.000 Sebelum Masehi), sebagai penanda ikonik sejarah budaya masyarakat Sumba yang masih lestari hingga kini.

Laporan: Redaksi

Tinggalkan Komentar

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Iklan