Partai Republik ancam imigran Muslim masuk AS menyusul insiden penembakan
Partai Republik mengancam akan menghentikan imigrasi Muslim tanpa batas waktu, setelah seorang tentara Amerika Serikat tewas dan seorang tentara AS lainnya mengalami luka serius dalam sebuah insiden penembakan baru-baru ini yang diduga dilakukan oleh seorang warga negara Afghanistan.
Washington, Amerika Serikat (Xinhua/Indonesia Window) – Partai Republik pada Kamis (27/11) mengancam akan menghentikan imigrasi Muslim tanpa batas waktu, setelah seorang tentara Amerika Serikat (AS) tewas dan seorang tentara AS lainnya mengalami luka serius dalam sebuah insiden penembakan baru-baru ini yang diduga dilakukan oleh seorang warga negara Afghanistan.
Sarah Beckstrom (20), seorang anggota Garda Nasional AS, tewas akibat luka-luka yang dideritanya pada Kamis itu setelah ditembak di dekat Gedung Putih sehari sebelumnya.
Rekan sesama tentaranya, Andrew Wolfe (24), yang juga ditembak, masih dalam kondisi kritis.
Tersangka, Rahmanullah Lakanwal (29), adalah seorang warga negara Afghanistan yang masuk ke AS pada 2021 dan sebelumnya pernah bekerja dengan Badan Intelijen Pusat (Central Intelligence Agency/CIA) di Afghanistan. Lakanwal ditembak oleh tentara AS lainnya dan kini telah ditahan, lapor media lokal.
Insiden tersebut menuai reaksi “kemarahan” dari Presiden AS Donald Trump dan anggota Partai Republik lainnya, dengan beberapa di antara mereka menyerukan larangan total terhadap imigrasi Muslim, ungkap sejumlah media AS.
“Kita harus SEGERA MELARANG semua imigran ISLAM dan MENGUSIR setiap Islamis yang hidup di antara kita yang hanya menunggu untuk menyerang,” kata Senator Republik Tommy Tuberville pada Rabu (26/11) dalam sebuah unggahan di platform media sosial X.
“Kita tahu solusinya,” tulis anggota parlemen Republik lainnya, Chip Roy. “Berhenti mengimpor Islamis. Usir Islamis.”
Trump pada Rabu mengatakan bahwa insiden penembakan tersebut menggarisbawahi “ancaman keamanan nasional terbesar” yang dihadapi AS. “Ada banyak masalah dengan orang-orang Afghanistan,” tambahnya.
Dalam sebuah pertemuan pers di kediamannya di Mar-a-Lago pada Kamis, Trump mengatakan kepada wartawan bahwa “banyak dari orang-orang ini adalah penjahat kriminal” yang seharusnya tidak diizinkan masuk ke AS, tanpa memberikan bukti yang kuat atas klaimnya tersebut.
Trump juga mengancam akan mengambil langkah-langkah untuk membatalkan keputusan imigrasi yang dibuat pada masa pemerintahan mantan presiden Joe Biden, serta “menghapus siapa pun yang dianggap tidak memberikan manfaat bersih bagi AS.”
Presiden AS itu juga mengumumkan rencana untuk mengakhiri semua tunjangan dan subsidi federal bagi “nonwarga negara,” serta menyerukan pencabutan kewarganegaraan bagi para migran yang, menurut pandangannya, “merusak ketenteraman dalam negeri.”
Pemerintahan Trump juga mempertimbangkan penghentian permanen terhadap permohonan imigrasi dari negara-negara mayoritas Muslim, tutur sejumlah pejabat.
Pada Rabu, Layanan Kewarganegaraan dan Imigrasi AS (US Citizenship and Immigration Services/USCIS) mengatakan bahwa pihaknya telah menangguhkan semua proses imigrasi terkait warga Afghanistan tanpa batasan waktu.
Joseph Edlow, direktur USCIS, pada Kamis mengumumkan bahwa pemeriksaan ulang yang menyeluruh dan ketat akan dilakukan terhadap semua pemegang kartu hijau dari 19 “negara yang dianggap mengkhawatirkan”, sebagian besar dari negara-negara tersebut adalah negara berpenduduk mayoritas Muslim, sesuai permintaan Trump.
Pengetatan yang diperluas ini telah memicu kepanikan di antara para pengungsi di AS. Banyak dari mereka khawatir ditangkap oleh petugas imigrasi atau menjadi target ujaran kebencian di tengah meningkatnya xenofobia. Kelompok-kelompok pengungsi menolak untuk menyalahkan seluruh komunitas imigran atas penembakan tersebut.
Langkah terbaru ini menandai satu langkah lagi dalam tindakan keras Trump yang lebih luas terhadap imigrasi di AS, yang memang menjadi fokus utama masa kepresidenannya.
Pada Juni lalu, sekitar 2.000 aksi protes digelar di seluruh AS, termasuk di kota-kota besar seperti New York, Philadelphia, dan Chicago, sebagai tanggapan atas keputusan Trump mengerahkan pasukan militer di Los Angeles untuk memperketat razia terhadap para imigran.
Laporan: Redaksi

.jpg)








