Penemuan fosil periode Jura di China ungkap wawasan baru perihal asal-usul parasit

Juracanthocephalus memiliki tubuh berbentuk fusiform (meruncing di kedua ujungnya) yang terbagi menjadi tiga bagian, yakni belalai (proboscis), leher, dan batang tubuh (trunk). Para peneliti meyakini bahwa parasit purba ini kemungkinan hidup di badan amfibi dan inang lainnya.
Nanjing, China (Xinhua/Indonesia Window) – Sebuah tim peneliti internasional menemukan sebuah fosil berusia 160 juta tahun di Daerah Otonom Mongolia Dalam, China utara, yang memberikan wawasan tentang evolusi cacing parasit.
Penelitian yang dilakukan oleh para peneliti dari Institut Geologi dan Paleontologi Nanjing di bawah naungan Akademi Ilmu Pengetahuan China (Nanjing Institute of Geology and Palaeontology under the Chinese Academy of Sciences/NIGPAS) tersebut dipublikasikan dalam jurnal Nature pada Rabu (9/4).
Fosil yang baru diidentifikasi itu, Juracanthocephalus, termasuk ke dalam kelompok parasit yang telah dikenal sebagai cacing berkepala duri. Organisme endoparasit ini menghuni ekosistem laut maupun darat di seluruh dunia.
Dengan panjang mencapai sekitar satu hingga dua sentimeter, Juracanthocephalus memiliki tubuh berbentuk fusiform (meruncing di kedua ujungnya) yang terbagi menjadi tiga bagian, yakni belalai (proboscis), leher, dan batang tubuh (trunk). Para peneliti meyakini bahwa parasit purba ini kemungkinan hidup di badan amfibi dan inang lainnya.
Belalainya yang dapat ditarik memiliki kait melengkung yang keras, yang berfungsi untuk menancapkan badan dengan kuat ke saluran pencernaan inangnya. Tubuh organisme tersebut memiliki 32 selubung beralur yang berfungsi seperti ‘setrip antiselip’ alami untuk membantunya tetap tertancap dengan kuat di dalam usus inangnya.
Satu hal yang paling menarik, para peneliti menemukan mekanisme rahang yang rumit di dekat bagian depan batang tubuhnya, yang terdiri dari beberapa struktur seperti gigi yang ukurannya semakin besar di bagian belakang (posterior), menyerupai mesin penggiling daging mini. Para peneliti berspekulasi bahwa struktur rahang ini terutama digunakan untuk memproses nutrien dari jaringan inangnya.
Wang Bo, seorang peneliti di NIGPAS, mengatakan bahwa temuan ini memberikan bukti nyata untuk mengungkap misteri asal-usul acanthocephalan yang sudah lama ada.
“Parasit-parasit ini dapat menginfeksi berbagai macam inang, termasuk manusia, babi, anjing, kucing, dan ikan. Sebelumnya, bagaimana dan kapan kelompok parasit aneh ini berevolusi dari nenek moyang yang hidup bebas dan non-endoparasit selalu menjadi misteri,” kata Wang.
Wang menyebutkan bahwa struktur rahang Juracanthocephalus menyerupai rotifera nenek moyangnya, sedangkan belalainya yang melengkung menunjukkan kemiripan yang jelas dengan acanthocephalan modern. Hal ini secara jelas menunjukkan bahwa Juracanthocephalus berevolusi dari rotifera yang hidup bebas, mengembangkan struktur kepala khusus untuk beradaptasi dengan kehidupan parasit, yang menjadikan organisme tersebut penghubung penting dalam transisi evolusi.
Lebih lanjut, temuan ini bertentangan dengan pengetahuan konvensional tentang habitat tempat parasit ini pertama kali berevolusi. Meski acanthocephalan modern sebagian besar hidup di laut, Juracanthocephalus ditemukan di endapan terestrial, yang menunjukkan bahwa parasit ini mungkin pertama kali beradaptasi dengan hewan-hewan darat sebelum kemudian mendiami lingkungan laut, tambah Wang.
Laporan: Redaksi