Jakarta (Indonesia Window) – Tes usap lubang hidung bagian dalam (deep nostril swab) masih merupakan metode yang paling efektif dalam mendeteksi infeksi COVID-19 dibandingkan dengan tes air liur, menurut sebuah studi terbaru.
Meskipun deep nostril swab sangat tidak nyaman, metode ini telah terbukti lebih efektif daripada tes air liur dan usap yang hanya masuk ke dalam lubang hidung atau di bawah lidah, karena usap nasofaring memasukkan usapan jauh ke dalam hidung.
Studi yang dilakukan oleh para peneliti dari Cornell University di New York AS ini juga menemukan bahwa tingkat deteksi tes air liur lebih rendah pada pasien tanpa gejala, menjadi alasan untuk periode isolasi yang lebih pendek.
“Studi ini membahas masalah yang sangat penting dalam mengidentifikasi jenis sampel yang memungkinkan deteksi virus yang andal, tanpa secara signifikan mengurangi sensitivitas deteksi,” kata penulis utama studi tersebut, Dr. Diego Diel dalam sebuah pernyataan.
Diel, yang juga seorang associate professor di Departemen Laboratorium Virologi di Pusat Diagnostik Kesehatan Hewan, mengatakan bahwa dalam penelitian, dia dan rekan-rekannya meneliti empat sampel berbeda, yakni usap nasofaring, usap nares anterior (depan lubang hidung), air liur, dan sublingual (di bawah lidah).
Sampel-sampel tersebut dikumpulkan dari orang yang bergejala, tanpa gejala, dan pasca-gejala untuk lebih memahami efisiensi pengujian.
Para peneliti menemukan bahwa sampel nasofaring memberikan tingkat deteksi terbaik, mulai dari akurasi 92 hingga 100 persen. Ini kemungkinan karena virus bereplikasi di turbinat (konka atau bagian tulang) hidung, yakni struktur jaringan di bagian paling atas hidung.
Tingkat deteksi dari nares anterior dan spesimen air liur sedikit lebih rendah, dengan 92-96 persen untuk pasien bergejala, tetapi tingkat deteksinya lebih rendah pada pasien tanpa gejala (75 sampai 92 persen akurasi).
Tes COVID-19 spesimen sublingual jauh lebih rendah, dengan tingkat deteksi hanya 40 hingga 60 persen dari pasien bergejala dan 25 hingga 42 persen dari pasien tanpa gejala.
“Kami terkejut dengan periode yang relatif singkat di mana virus menular terdeteksi,” kata Diel.
“Data tersebut selaras dengan pedoman CDC (Centers for Disease Control and Prevention) atau Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit AS saat ini, dan keputusan mereka untuk mengurangi periode isolasi pasien dari 14 hari menjadi 10 hari dan akhirnya menjadi lima hari,” imbuhnya.
Temuan studi ini diterbitkan di jurnal Microbiology Spectrum.
Sumber: Al Arabiya
Laporan: Redaksi