Jakarta (Indonesia Window) – Rama Dani Syafriar adalah penyandang Asperger, yakni gangguan neurobiologi atau syaraf yang masih termasuk dalam spektrum austisme. Artinya Rama sulit berinteraksi dan berkomunikasi non verbal dengan orang di sekelilingnya. Selain itu, ketertarikannya akan suatu hal juga terbatas dan dia memiliki pola perilaku yang berulang.
Namun, Rama yang kini berusia 18 tahun aktif mengikuti beragam aktivitas di kelas taekwondo dan klub jurnalisme di SMA PL Don Bosko, Semarang, serta gemar fotografi terutama memotret miniatur mobil.
Dengan keadaaannya itu, Rama bermimpi melanjutkan pendidikan di Institut Teknologi Bandung (ITB) untuk mewujudkan keinginannya menjadi perancang mobil, peneliti dan astronom.
“Sebenarnya kami tidak begitu berbeda dengan orang kebanyakan. Kami hanya butuh untuk lebih dimengerti. Aku harap semua bisa hidup berdampingan dengan damai,” ujar Rama.
Menurut Direktur Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi, London School of Public Relations (LSPR) Jakarta, Prita Kemal Gani, orangtua adalah pihak yang paling memahami kemampuan anak-anak mereka, khususnya yang berkebutuhan khusus, serta mengerti lingkungan yang mendukung aktivitas anggota keluarga tersebut.
Anak-anak dengan autism syndrome disorder (ASD) akan tumbuh dewasa dan membutuhkan pekerjaan dalam kehidupan mereka, sementara perusahaan yang menerima karyawan dengan kebutuhan khusus masih sangat jarang, terutama di Indonesia.
Hal tersebut sangat wajar karena pengetahuan tentang karakteristik individu ASD masih sangat terbatas sehingga muncul keraguan akan kemampuan orang-orang berkebutuhan khusus tersebut.
“Sejauh ini individu dengan autistik masih sulit mendapat pekerjaan. Padahal mereka sebenarnya memiliki talenta dan kemampuan yang jika diasah dapat memberikan keberhasilan bagi diri mereka dan bermanfaat bagi orang lain,” kata Prita pada seminar bertema “Parentpreneur: kreatif menciptakan lapangan kerja bagi individu autistik” di Jakarta, Sabtu (4/5).
Dia menjelaskan bahwa di beberapa negara seperti Thailand dan Jepang, individu ASD mendapatkan kesempatan bekerja di sektor bisnis seperti toko roti dan kedai kopi. Hal itu memungkinkan karena orangtua terlibat langsung dalam melatih keterampilan anak-anak ASD dan turut mencari pasar yang potensial bagi produk yang dihasilkan oleh anak-anak mereka.
Prita mengenalkan istilah “parentpreneur” yang diartikan sebagai orangtua kreatif yang membangun dan mengembangkan unit usaha bagi anak-anak ASD sesuai dengan talenta dan kemampuan mereka.
“Pengalaman saya melihat berbagai macam usaha yang dibangun oleh dan untuk individu ASD telah memicu semangat saya untuk berbuat sesuatu bagi mereka, terutama untuk anak saya tercinta, Raysha,” ujar Prita.
Dia menambahkan bahwa LSPR sangat peduli akan perkembangan anak-anak ASD, ditunjukkan dengan didirikannya Pusat Kesadaran Autistime LSPR atau London School Center for Autism Awareness (LSCAA) dan London School of Beyond Academy (LSBA) yakni sekolah bagi anak-anak dengan ASD.
Salah satu misi LSCAA adalah menyebarluaskan informasi mengenai austisme kepada masyarakat dalam bentuk festival ASD, memberi pelatihan bagi orangtua yang memiliki anak dengan autistik, membuat film serta kegiatan lainnya.
Guna mengembangkan talenta dan keterampilan anak-anak dengan autisme, LSBA menyediakan pelatihan kerja bagi individu ASD agar memiliki keahlian yang berguna dalam menjadikan mereka sebagai wirausahawan dengan tetap melibatkan orangtua sebagai pendukung utama dan penyedia pasar bagi karya anak-anak mereka.
Penulis: Redaksi