Banner

Opini: Dunia perlu kepemimpinan transformasional

Karebet Widjajakusuma saat menyampaikan pemaparan tentang kepemimpinan transformasional pada acara Maulid Leadership Forum 14444 Hijriah. (Indonesia Window)

Ada dua aspek dalam kepemimpianan, yaitu amanah yang wajib dijalankan oleh seorang pemimpin, dan visi yang pertanggungjawabannya tidak hanya di dunia tapi juga akhirat, menurut praktisi pendidikan dan motivator Muslim, Karebet Widjajakusuma, dalam paparannya pada acara Maulid Leadership Forum 1444 Hijriah, baru-baru ini.

Dia berpendapat, seorang pemimpin harus menyelami situasi kekinian, yang menurut para ahli disebut fenomena VUCA: Volatility, Uncertainty, Complexity, Ambiguity. Ini mengakibatkan disrupsi dan akhirnya permasalahan yang kompleks.

Dia menjelaskan, volatility (perubahan) yang menunjukan bahwa dunia hari ini sedang bergejolak karena situasi yang sudah mapan telah berubah di berbagai bidang termasuk transportasi serta bisnis penginapan.

Uncertainty (ketidakpastian), salah satu contohnya diakibatkan oleh perang Ukraina melawan Rusia, dan eskalasi konflik di Timur Tengah.

Fenomena berikutnya adalah ambiguity (ketidakjelasan) yang membuat munculnya keraguan dalam mengambil keputusan, aliansi strategis atau kompetisi, ungkap Karebet.

“Dalam VUCA ada complexity. Ketiga poin di atas membuat complexity. Banyak kejadian yang saling memengaruhi satu sama lain; faktor politik, ekonomi, teknologi dan lain-lain. Dan juga faktor-faktor internal,” kata Karebet, seraya menambahkan, dalam masa dua tahun terakhir ini setelah masa pandemik yang belum berkesudahan secara sempurna, muncul situasi yang kompleks.

“Dengan adanya complexity dewasa ini, kalau kita kaitan dengan trend skill yang diperlukan pada 2009 – 2015 – 2020 bahkan saya duga lebih, kita melihat ada tiga yang hari ini menyebabkan situasi yang kompleks. Yang pertama complex problem solving, kedua critical thinking, ketiga creativity. Isu berikutnya adalah kepemimpinan transformasional,” terangnya.

Sejak tahun 1990-an awal muncul banyak model kepemimpinan, seperti Trend Model of Leadership. “Maksudnya adalah kalau pemimpin berwibawa/berkarkter maka persoalan selesai. Tapi ini tidak bertahan lama karena tidak cukup hanya membawa karakter),” ungkapnya.

“Selanjutnya adalah model situational leadership (bagaimana menghadapi situasi-situasi yang berubah), kemudian effective model leadership (ini juga tidak bisa bertahan lama), dan contingency model leadership (juga tidak cukup), dan puncaknya adalah model transformational leadership (akhirnya semua sepakat pada model ini).”

“Sejak 20 tahun yang lalu, saya menekuni model kepemimpinan transformasional ini, dengan pengertian breakthrough leadership yang akan mampu membawa perubahan mendasar dan besar dalam kehidupan para pengikutnya,” ungkapnya.

Hal itu bisa terjadi karena pemimpin dengan model tersebut memiliki pemikiran metanoia. Dalam bahasa Yunani, meta berarti perubahan and noia adalah pemikiran. Pemikiran metanoia adalah pemikiran yang membawa perubahan. “Bukan sekadar perubahan, tapi perubahan yang besar dan mendasar,” tegasnya.

“Ternyata yang dimaksud dengan metanoia adalah way of life (cara hidup) atau worldview (pandangan hidup) yang bisa mengubah kehiduapan seseorang, mengubah bagaimana menata kehidupan hari ini, bagaimana melihat kehidupan hari ini, dan bagaimana menjalaninya dan sampai mana dia akan menjalani proses kehidupan, apakah berhenti di dunia saja atau sampai akhirat,” jelasnya.

Karebet berpendapat, kepemimpinan transformasional tidak dapat dipisahkan dari worldview karena ini adalah syarat yang pertama. Dengan demikian, jika syarat ini digunakan, maka seorang pemimpin akan menggunakan syarat-syarat berikutnya dari nilai pribadi hingga reputasi yang dasarnya adalah way of life.

Dia melanjutkan, ada empat karakter yang dimiliki oleh pemimpin yang transformasional. “Yang pertama, idealized influence (pengaruh ideal), inspirational motivation, intellectual stimulation (daya dorong intelektual), dan individual consideration (pertimbangan individual).”

Idealized influence pengertiannya begini. Pemimpin memilik perilaku yang membuat para pengikutnya mengaggumi, menghormati dan sekaligus mempercainya (Teladan),” jelasnya.

Dalam hal ini, “pemimpin harus menunjukan keyakinan diri yang kuat, nilai-nilai yang penting kepada bawahan dan sense of purpose (miliki tujuan), mampu menumbuhkan kebanggaan pada pengikut, menggunakan visi dan misi untuk mencapai tujuan spiritual, memberikan teladan nyata, hadir dalam saat-saat yang sulit, serta menjadi role model (panutan) bagi bawahannya.”

Selain itu, menurut konsultan manajemen ini, pemimpin harus mempunyai mimpi yang besar yang terus menerus diikuti dan dilanjutkan oleh bawahannya walaupun pemimpin tersebut sudah meninggal dunia. “Dia harus menginspirasi bawahannya untuk mencapai kemungkinan-kemungkinan yang tidak terbayangkan.”

Karebet mengambil contoh pernyataan Muhammad Al Fatih (Sultan Utsmani ke -7, salah satu pahlawan besar umat Islam) yang diabadikan dalam kalimat yang ditemukan di museum 1453 panoramic di Turki, yaitu Achieving the impossible (meraih yang mustahil).

Karakter Rasulullah ﷺ

Pemimpin harus mampu menumbuhkan gagasan baru, memberikan solusi yang kreatif terhadap persoalan yang dihadapi bawahan, dan memberikan motivasi kepada bawahan/pengikut untuk mencari pendekatan-pendekatan baru dalam menjalankan tugas-tugas organisasi (problem solving).

Pemimpin juga harus mau mendengarkan masukan-masukan dari bawahan dengan penuh perhatian, dan secara khusus memperhatikan kebutuhan bawahan soal pengembangan karier, reputasi, catatan prestasi, assessment (penilaian), sehingga semua mendapat pembelajaran yang luar biasa, terang Karebet.

“Empat karakter tersebut ada pada Rasulullah ﷺ. Allah ﷻ menegaskan, Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah. (Terjemahan QS al-Ahzab: 21),” tuturnya, seraya menegaskan, sejak 14 abad yang lalu, Umat Muslim masih meneladani beliau karena ada teladan yang baik.

Dia pun mengutip Jules Masserman, seorang peneliti independen sekaligus seorang professor di Universitas Chicago Amerika Serikat, yang meletakan tiga syarat untuk menentukan pemimpin terbaik, yaitu pada diri pemimpin harus ada proses kepemimpinan yang baik, menaungi kesatuan masyarakat yang terdiri dari keyakinan yang berbeda-beda, serta mampu mewujudkan sebuah sistem masyarakat yang dapat hidup di dalamnya dengan aman dan tenteram.

Secara jujur Masserman berkesimpulan, “Pemimpin teragung sepanjang sejarah adalah Muhammad yang telah memenuhi tiga syarat tersebut”. (Majalah Time, Who Were History’s Great Leaders, edisi 1 Juli 1974)

“Muncul pertanyaan, mengapa terjadi kerusakan. Apakah hari ini dunia menggunakan worldview kapitalisme – sekulersisme yaitu paham yang menghapuskan atau menyingkirkan agama, jawabannya adalah iya,” kata Karebet.

Karebet mengutip Walt Whitman Rostow dengan paradigmanya, “Agama mesti dihapus karena ia penghalang bagi pembangunan. Dengan asas manfaat, paradigma ini menghalalkan segala cara. Mereka yang tidak setuju dengan paradigma ini tidak bisa ikut ‘maju’, tersingkir, depresi lalu berubah menjadi residu pembagunan.”

“Kalau kapitalisme dan sekulerisme diterapkan muncullah residu pembangunan. Kapitalisme memunculkan sebuah sistem yang mendukung munculnya residu tersebut, bukan makin ringan tapi makin banyak,” ungkapnya.

“Dalam bahasa akademik, kepemimpinan transformasional dengan way of life Islam adalah yang hari ini dunia perlu lakukan. Transformasi itu hijrah. Hijrah dari peradaban, bukan sekadar orangnya, tapi peradabannya, dari peradaban yang maksiat ke peradaban yang membawa keselamatan dunia dan akhirat,” tutur Karebet.

Karebet Widjajakusuma adalah pendididik dan motivator Muslim, praktisi pendidikan, konsultan riset dan pelatihan.

Tinggalkan Komentar

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Iklan