Industri wisata jadi “lahan subur penyakit sosial”, Guru Besar IPB University usulkan “tourism re-engineering”
Mega potensi ekowisata Indonesia, mulai dari biodiversitas, geodiversitas, budaya, hingga potensi kelautan, tersebar di wilayah dengan golden distance, atau jarak emas yang ideal untuk mengembangkan wisata.
Bogor, Jawa Barat (Indonesia Window) – Meski dikaruniai kekayaan alam, budaya, dan potensi pesisir yang luar biasa, capaian pariwisata Indonesia masih tertinggal dibanding beberapa negara tetangga. Ironisnya, pariwisata bahkan tidak lagi menjadi program unggulan Kabinet Merah Putih saat ini.
Kondisi tersebut menjadi refleksi kritis Guru Besar Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB (Institut Pertanian Bogor) University, Prof. Dr. Ir. Ricky Avenzora, M.Sc.F.Trop, dalam konferensi pers pra-orasi ilmiahnya yang bertajuk ‘Retrospeksi Akademis 35 Tahun Pembangunan Ekowisata di Indonesia’, Kamis.
Potensi mega, capaian mini
Indonesia memiliki apa yang disebut Prof. Ricky sebagai mega potensi ekowisata, mulai dari biodiversitas, geodiversitas, budaya, hingga potensi kelautan. Semua tersebar di wilayah dengan golden distance, atau jarak emas yang ideal untuk mengembangkan wisata.
Namun, “mengapa selama puluhan tahun kunjungan wisatawan mancanegara Indonesia selalu kalah dari negara tetangga?” tanya Ricky dalam paparannya.
Menurutnya, akar persoalan ada pada lemahnya pendidikan pariwisata yang selama ini hanya berfokus pada aspek vokasional seperti manajemen perjalanan dan akomodasi. Kurangnya kerangka akademis yang komprehensif menyebabkan lahirnya kebijakan dan birokrasi yang tidak kokoh.
“Birokrasi kita ibarat panglima tanpa medan perang. Anggaran habis untuk promosi, tanpa pernah ada ukuran efektivitasnya. Sementara pembangunan power places dan power of programs nyaris tak tersentuh,” tegasnya
Ricky menyoroti kegagalan perencanaan strategis Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Nasional (RIPPARNAS) 2011–2025 yang memaksa penyusunan 360 dokumen hierarkis, memboroskan waktu dan biaya.
Ditambah lagi, lanjutnya, pergantian kepemimpinan selalu melahirkan kebijakan dan anggaran yang terputus (discontinued policy dan budgeting). Akibatnya, banyak destinasi wisata terjebak dalam masalah lingkungan, sosial, hingga ketidakadilan distribusi ekonomi.
Ekowisata di tengah ancaman sosial
Industri pariwisata juga disebut Prof. Ricky sebagai lahan subur bagi penyakit sosial.
Dia mengutip laporan BNN (2022) yang menunjukkan peningkatan kasus narkotika di destinasi wisata, serta penelitian yang mengindikasikan tingginya penyebaran penyakit menular seksual di kawasan wisata.
Sebagai solusi, Prof. Ricky menawarkan konsep tourism re-engineering.
Menurutnya, paradigma “disinhibition travelling” atau perjalanan bebas harus digeser menjadi “ilahiah travelling”, yang artinya perjalanan berkesadaran spiritual untuk membangun jati diri dan memberi manfaat bagi semesta.
Dia merumuskan tujuh misi utama ekowisata ilahiah, yakni, menemukan jati diri, memperkuat silaturahmi, mengelaborasi ilmu, membangun kesejahteraan, menegakkan ketawakalan, merasakan kebahagiaan, dan meraih ridha Ilahi.
Sepuluh usulan perubahan
Dalam retrospeksinya, Prof. Ricky menyampaikan sepuluh usulan untuk membenahi pembangunan pariwisata Indonesia, sebagai berikut.
1.Melakukan academic re-engineering di bidang pariwisata.
2.Menjadikan rekreasi sebagai perjalanan berkesadaran, bukan sekadar kebebasan.
3.Merumuskan ekowisata sebagai nomenklatur tunggal nasional.
4.Mengubah fokus pembangunan dari infrastruktur turis ke kesejahteraan masyarakat lokal.
5.Menggeser paradigma ‘hospitality for tourist’ menjadi ‘reciprocal hospitality for all’.
6.Mengarahkan sektor swasta sebagai inkubator bisnis komunal.
7.Menjamin ekosistem bisnis pariwisata yang adil dan berkelanjutan.
8.Menguatkan peran perguruan tinggi (HILDIKTIPARI) agar tidak hanya menghasilkan tenaga kerja hotel.
9.Memperkokoh pariwisata sebagai flagship nasional, bukan sekadar slogan ‘Wonderful Indonesia’.
10.Menata ulang peran dan struktur Kementerian Pariwisata dengan menekankan the power of places dan the power of programs, bukan sekadar promosi.
Prof. Ricky menegaskan bahwa jika tidak ada perubahan mendasar, potensi besar ekowisata Indonesia hanya akan menjadi jargon kosong.
“Kita harus berani keluar dari pola lama. Ekowisata harus menjadi gerakan spiritual, sosial, ekonomi, sekaligus akademis yang menyatukan seluruh elemen bangsa,” pungkasnya.
Laporan: Redaksi

.jpg)








