Jumlah pengungsi Palestina di Yordania saat ini lebih dari 2 juta jiwa, membuat mereka masih harus bergulat dengan berbagai tantangan, seperti pendapatan yang tidak memadai dan kelangkaan peluang kerja.
Amman, Yordania (Xinhua) – Bahkan setelah lebih dari tujuh dekade mengungsi, Gaith Mousa sesekali masih mengenang kampung halamannya, sebuah desa kecil bernama Annaba di Palestina.
Pada 1948, Mousa dan keluarganya meninggalkan Palestina untuk menghindari konflik. Pada akhirnya, mereka sampai di Yordania lalu hidup berpindah-pindah di beberapa kamp pengungsi.
Setelah bertahun-tahun bekerja keras di bidang konstruksi, pria yang kini berusia 85 tahun itu akhirnya berhasil mengumpulkan uang yang cukup untuk membawa keluarganya keluar dari kamp Baqaa, perhentian terakhir dalam kehidupannya di kamp pengungsian, dan membangun rumah untuk keluarganya.
Meski kehidupan terus berjalan, Mousa dan keluarganya tidak pernah lupa bahwa mereka adalah orang Palestina. Kepada Xinhua, dia mengaku telah lama ingin pulang ke tanah airnya, “bahkan untuk satu menit saja, untuk mati di sana dan dimakamkan di negara saya sendiri.”
“Bagi setiap orang Palestina yang mengungsi ke Yordania, pulang ke tanah air adalah impian bersama,” ujar Khaled Arar, seorang pengacara Palestina yang masih tinggal di kamp pengungsi Baqaa di Yordania.
“Kamp ini adalah bukti kejahatan yang dilakukan oleh pendudukan Israel yang bertanggung jawab atas pengusiran bangsa Palestina dari tanah mereka,” tutur Arar.
Lahir pada 1957 di Qalandia, yang berdekatan dengan Yerusalem dan Tepi Barat, pengacara itu mengatakan keluarganya mengungsi ke Yordania setelah perang Arab-Israel pada 1967.
Kenangan akan kehidupan yang menyedihkan saat pertama kali tiba di kamp pengungsi masih menghantui Arar. “Kami sangat menderita karena minimnya jalan beraspal, sehingga kami tenggelam dalam lumpur pada musim dingin, yang menjadikan hidup kami sangat keras,” tuturnya.
Arar menambahkan bahwa banyak pengungsi yang tinggal di kamp tersebut kini telah mencapai generasi ketiga dan keempat, dengan kerinduan pada tanah air juga diwariskan dari generasi ke generasi.
“Mereka semua bermimpi untuk bisa pulang ke tanah air,” kata Arar.
Untuk mengungkapkan kerinduan mereka pada tanah air, para pengungsi menamai beberapa area di kamp pengungsi itu dengan nama kota asal mereka, seperti Yerusalem, Nablus, dan Hebron.
Menurut Badan Bantuan dan Pekerjaan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Pengungsi Palestina di Timur Dekat (UNRWA), saat ini lebih dari 2 juta warga Palestina yang terdaftar tinggal di Yordania. Terlepas dari upaya pemerintah setempat dan organisasi internasional untuk membantu para pengungsi, besarnya populasi pengungsi membuat mereka masih harus bergulat dengan berbagai tantangan, seperti pendapatan yang tidak memadai dan kelangkaan peluang kerja.
Demi menyambung hidup, Saleh Banat, penghuni kamp Baqaa lainnya, menekuni pekerjaan di berbagai bidang.
Seiring berjalannya waktu, Banat beralih dari bekerja di sektor konstruksi menjadi perajin tongkat untuk warga lanjut usia. Saat ini, dia mulai menjual alat penggiling dan pemanggang biji kopi portabel.
Namun, karena beberapa faktor seperti inflasi dan angka pengangguran yang tinggi, ekonomi setempat terdampak secara signifikan, yang menyebabkan penurunan besar dalam penjualan alat penggiling dan pemanggang biji kopi serta tongkat yang dibuat Banat dengan begitu cermat.
Saat ini, ketujuh putra Banat bekerja di luar, hampir tak mampu membantunya mengatasi tantangan hidup.
Meski perhatian dan bantuan dari masyarakat internasional dapat membantu memperbaiki kondisi kehidupan para pengungsi Palestina, solusi utama untuk masalah pengungsi terletak pada upaya memfasilitasi kepulangan mereka ke tanah air, kata Banat kepada Xinhua.
“Saya ingin kembali ke tanah air saya, Palestina, karena kehidupan di sana dapat membangkitkan kembali jiwa kami seperti yang digambarkan oleh ayah saya,” katanya.
Laporan: Redaksi