Gelombang dingin ekstrem menghantam para pengungsi di Gaza yang hidup di dalam tenda-tenda bobrok yang sangat tidak memadai, membuat jumlah kasus hipotermia pada bayi baru lahir bertambah setiap hari.
Gaza, Palestina (Xinhua/Indonesia Window) – Dengan bersimbah air mata, Yahia al-Batran, seorang pengungsi Palestina dari Deir al-Balah di Gaza tengah, menatap jenazah bayi laki-lakinya, Ali, yang meninggal dunia pada Senin (30/12).
Bayi yang baru berusia 21 hari tersebut meninggal dunia karena suhu di dalam tenda sementara milik keluarganya tidak cukup hangat di musim dingin. Kematian bayi itu terjadi hanya dua hari setelah saudara kembarnya, Jomaa, juga meninggal dunia akibat kedinginan.
“Kami mengungsi ke Deir al-Balah untuk melindungi anak-anak dan kami sendiri dari kematian yang kami saksikan di sana. Kami datang ke sini dan tinggal di tenda yang saya buat dari selimut serta kayu. Dua keponakan saya tewas oleh tentara Israel, dan kemudian anak kembar saya lahir. Saya berkata bahwa mereka adalah karunia dari Tuhan untuk menggantikan kedua keponakan saya yang telah meninggal, dan saya menamai mereka (anak kembarnya) dengan nama mereka (dua keponakannya). Karena udara yang dingin, tenda menjadi lembap. Tepat pukul 03.00 pagi, saya terbangun dan bertanya kepada istri saya mengapa dia masih terjaga. Katanya dia sedang berusaha membangunkan si kembar, tetapi mereka tidak bergerak. Saya mulai menyentuh tubuh mereka dan kemudian istri saya menggendong Ali dan Jomaa, tetapi tubuh mereka membeku seolah-olah dimasukkan ke dalam es. Saya menggendong mereka dan mulai berlari. Tetapi begitu saya tiba di resepsionis rumah sakit, mereka memberi tahu saya bahwa salah satu bayi kami telah meninggal, dan yang lainnya meninggal hari ini,” urah al-Batran.
Di tengah serangan Israel yang masih berlanjut di daerah kantong tersebut, al-Batran kini harus berdesakan dengan keluarganya yang beranggotakan delapan orang di dalam sebuah tenda yang bobrok, serta kekurangan barang kebutuhan pokok. Selain itu, musim dingin membuat keadaan semakin sulit bagi mereka, karena mereka hanya memiliki empat selimut untuk melawan hawa dingin.
Pada Senin, kantor media pemerintah Gaza yang dikelola Hamas mengatakan dalam sebuah pernyataan bahwa jumlah warga Palestina yang tewas akibat gelombang dingin ekstrem telah bertambah menjadi tujuh orang, dan “jumlahnya kemungkinan akan meningkat karena kondisi saat ini yang tragis.”
“Hujan lebat diperkirakan akan terus berlanjut, begitu juga gelombang dingin dan hawa musim dingin dalam beberapa hari mendatang, yang menimbulkan bahaya besar bagi kehidupan para pengungsi yang menderita secara tragis sebagai akibat dari kejahatan pendudukan Israel terhadap mereka,” demikian bunyi pernyataan kantor media itu.
Di Khan Younis, Gaza selatan, Mahmoud Al-Fasih (30) sedang berduka karena kehilangan putrinya yang baru berusia tiga pekan, Sila, akibat kedinginan beberapa hari lalu.
Kini, Al-Fasih mengkhawatirkan kesehatan anak-anaknya yang lain, yang bertahan hidup di dalam tenda kumuh keluarganya tanpa pasokan kebutuhan.
Ayed al-Farra, direktur unit neonatal di Rumah Sakit Nasser, mengatakan rumah sakit tersebut menerima lima hingga enam kasus hipotermia pada bayi baru lahir setiap harinya.
“Penyebab utamanya adalah karena tenda-tenda tersebut tidak memadai untuk menghadapi cuaca dingin ekstrem, yang membuat mereka kedinginan pada malam hari saat musim dingin,” ungkap al-Farra.
Laporan: Redaksi