Serangan Israel terhadap rumah sakit di Jalur Gaza sangat membatasi akses untuk mendapatkan perawatan medis, menyebabkan kondisi kesehatan anak-anak di wilayah tersebut semakin memburuk.
Gaza, Palestina (Xinhua/Indonesia Window) – “Rasanya seolah-olah jiwa saya telah direnggut dari tubuh saya, dan saya dibiarkan mati selamanya,” ujar ibu empat anak Abeer Abu Yousef ketika menggambarkan kepedihan yang dirasakannya saat mengirim anaknya ke luar negeri untuk menjalani pengobatan medis tanpa dirinya.
Wanita Palestina berusia 40 tahun tersebut mengatakan kepada Xinhua bahwa putranya, Abdullah, telah menderita gagal ginjal selama 10 tahun. Serangan Israel terhadap rumah sakit di Jalur Gaza sangat membatasi aksesnya untuk mendapatkan perawatan dialisis, sehingga menyebabkan kondisi kesehatannya semakin memburuk.
Abeer akhirnya memiliki secercah harapan ketika otoritas kesehatan yang berbasis di Gaza memberi tahu bahwa anaknya dapat melakukan perjalanan ke Uni Emirat Arab (UEA) untuk berobat.
Abdullah merupakan satu dari 45 pasien yang diizinkan meninggalkan Gaza melalui perlintasan Kerem Shalom yang dikuasai Israel pada Selasa (7/1) untuk menjalani pengobatan medis di UEA, menurut pejabat kesehatan setempat. Mereka mengungkapkan bahwa evakuasi tersebut dikoordinasikan dengan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Kendati demikian, menjalani pengobatan medis di luar negeri harus disertai dengan pemeriksaan keamanan yang semakin ekstensif yang diberlakukan oleh otoritas Israel di tengah konflik yang masih berlangsung di Gaza.
Meski tidak terlibat dalam “kegiatan politik atau militer apa pun,” Abeer gagal mendapatkan izin untuk menemani putranya setelah pemeriksaan keamanan. Karena tidak punya pilihan lain, dia mengirim putrinya yang berusia 13 tahun untuk mendampingi Abdullah ke luar negeri.
“Putri saya masih belia dan tidak tahu apa yang dibutuhkan saudaranya, dan saya merasa kasihan kepadanya karena dia harus bertanggung jawab atas saudaranya, tetapi kami tidak punya pilihan lain … Saya mengkhawatirkan mereka berdua, dan saya berharap mereka menemukan seseorang yang dapat mengurus mereka,” ujarnya.
Situasi memilukan ini juga dialami oleh Kamla Abu Kwaik, seorang ibu yang juga terpaksa membiarkan anaknya, Fayez, menempuh perjalanan seorang diri guna menjalani pengobatan penyakit kanker darah.
“Otoritas Israel telah lebih dari satu kali menolak permintaan dari saya dan suami saya untuk menemani anak kami ke luar negeri untuk berobat, jadi neneknya yang ikut pergi bersamanya,” ungkap ibu empat anak berusia 39 tahun itu kepada Xinhua.
“Saya tidak tahu bagaimana akan melewati periode selama Fayez menjalani pengobatan jauh dari saya,” tuturnya dengan suara tercekat. “Hidup tidak berwarna, dan makanan pun menjadi hambar, dan saya menghitung hari menunggu putra saya kembali ke pelukan saya.
Israel melakukan serangan skala besar di Gaza sebagai balasan terhadap serangan yang dilakukan oleh militan Hamas di perbatasan Israel selatan pada 7 Oktober 2023, yang mengakibatkan sekitar 1.200 warga Israel tewas dan sekitar 250 orang lainnya disandera.
Serangan ini menyebabkan kerusakan yang meluas, menimbulkan ancaman signifikan bagi puluhan ribu warga sipil di Gaza, terutama anak-anak dan pasien.
Menurut pernyataan dari otoritas kesehatan yang berbasis di Gaza pada Senin (6/1), jumlah warga Palestina yang tewas akibat serangan Israel yang masih berlangsung di Gaza telah bertambah menjadi 45.854 orang, dengan jumlah korban luka-luka mencapai 109.139 orang.
Ismail Thawabta, kepala kantor media pemerintah yang dikelola Hamas di Gaza, mengatakan kepada Xinhua bahwa 35.060 anak di Gaza kini hidup tanpa orang tua atau salah satu dari mereka.
Ada lebih dari 28.000 orang sakit dan terluka, termasuk anak-anak, yang membutuhkan perawatan di luar negeri karena kurangnya obat-obatan di daerah kantong tersebut, menurut Mohammed Zaqout, direktur jenderal rumah sakit di Jalur Gaza.
“Para pasien menghadapi risiko kematian yang nyata karena runtuhnya sektor kesehatan sebagai akibat dari penargetan langsung sejumlah rumah sakit dan pusat kesehatan oleh tentara Israel, yang menyebabkan kehancuran masif pada sebagian besar bangunan,” ungkap Zaqout memperingatkan.
Laporan: Redaksi