Banner

AS veto resolusi DK PBB yang tuntut gencatan senjata kemanusiaan segera di Gaza

Para perwakilan memberikan suara mengenai rancangan resolusi saat pertemuan Dewan Keamanan di markas besar Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di New York City pada 1 Desember 2023. (Xinhua/PBB/Eskinder Debebe)

Duta Besar Palestina untuk PBB, Riyad Mansour, mengatakan kepada dewan tersebut bahwa hasil pemungutan suara itu adalah “bencana,” seraya menambahkan: “Jutaan nyawa warga Palestina berada dalam bahaya. Setiap nyawa adalah suci, layak diselamatkan.”

 

PBB (Xinhua) – Amerika Serikat (AS) pada Jumat (8/12) memveto resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang menuntut gencatan senjata kemanusiaan segera di Gaza.

Resolusi tersebut, yang dirancang oleh Uni Emirat Arab (UEA) dan didukung oleh lebih dari 100 negara, mendapat dukungan 13 dari 15 anggota Dewan Keamanan, dengan Inggris menyatakan abstain.

Sekretaris Jenderal (Sekjen) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Antonio Guterres telah menggunakan Pasal 99 Piagam PBB untuk mendesak badan paling berkuasa di organisasi itu agar menyerukan gencatan senjata.

Pasal 99 menyatakan, “Sekretaris jenderal dapat menyampaikan kepada Dewan Keamanan setiap permasalahan yang menurut pendapatnya dapat mengancam upaya pemeliharaan perdamaian dan keamanan internasional.”

Banner

Teks resolusi tersebut menyerukan penghentian segera pertempuran antara Hamas dan Israel, dan perlindungan warga sipil Israel dan Palestina berdasarkan hukum kemanusiaan internasional. Resolusi itu juga menuntut pembebasan semua sandera segera dan tanpa syarat.

Duta Besar Palestina untuk PBB, Riyad Mansour, mengatakan kepada dewan tersebut bahwa hasil pemungutan suara itu adalah “bencana,” seraya menambahkan: “Jutaan nyawa warga Palestina berada dalam bahaya. Setiap nyawa adalah suci, layak diselamatkan.”

Dia menyatakan “sangat disesalkan” bahwa Dewan Keamanan terhambat dalam memenuhi tugasnya, melalui sebuah resolusi yang baru diadopsi, di tengah krisis tersebut.

Alih-alih membiarkan Dewan Keamanan melaksanakan tugasnya dengan setidaknya mengeluarkan seruan definitif, setelah dua bulan terjadinya pembantaian massal dan kekejaman, “penjahat perang diberi lebih banyak waktu untuk melakukan kejahatan mereka,” ujar Mansour.

“Bagaimana ini bisa dibenarkan? Bagaimana bisa orang-orang membenarkan pembantaian terhadap seluruh masyarakat tersebut?” tambahnya.

Laporan: Redaksi

Banner

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Banner

Iklan