Belanja militer AS yang sangat besar terus meningkat, sebuah siklus tak berujung yang telah berlangsung sejak Perang Vietnam hingga perang di Irak dan Afghanistan. Dalam banyak kasus, intervensi militer AS justru memperburuk alih-alih meredakannya.
Beijing, China (Xinhua/Indonesia Window) – Persetujuan baru-baru ini oleh Kongres Amerika Serikat (AS) atas rancangan undang-undang (RUU) kebijakan pertahanan senilai 895 miliar dolar AS untuk 2025 menjadi pengingat serius akan hasrat Washington yang tidak pernah terpuaskan dalam hal belanja militer.
Di balik retorika “mempertahankan tanah air” dan “melawan musuh global,” pendorong utama dari Undang-Undang Otorisasi Pertahanan Nasional yang memecahkan rekor untuk tahun fiskal 2025 tampaknya adalah sebuah ambisi yang jauh lebih menyeramkan, yakni perluasan hegemoni militer AS, sebuah tujuan yang sering kali menyebabkan ketidakstabilan di kawasan lain dan memberikan keuntungan bagi kompleks industri militernya sendiri.
Belanja militer AS yang sangat besar terus meningkat, sebuah siklus tak berujung yang telah berlangsung sejak Perang Vietnam hingga perang di Irak dan Afghanistan. Dalam banyak kasus, intervensi militer AS justru memperburuk alih-alih meredakannya.
Saat ini, fokusnya telah bergeser ke apa yang disebut “persaingan kekuatan besar,” sebuah narasi peperangan yang memicu ketegangan global dan memberikan pembenaran untuk anggaran bagi kontraktor pertahanan AS yang terus meningkat.
RUU kebijakan pertahanan 2025 adalah contohnya. Dengan 107 kali menyebut tentang China, RUU tersebut terasa seperti sebuah manifesto dari agenda Washington yang semakin paranoid dalam menghadapi China. Selain itu, RUU ini juga menunjukkan upaya terang-terangan para anggota parlemen untuk melindungi kepentingan kontraktor pertahanan AS.
RUU itu tidak hanya menargetkan sektor-sektor sensitif seperti peralatan lidar dan semikonduktor, tetapi juga meluas ke bidang-bidang yang lebih sepele, seperti impor bawang putih China. Pencantuman yang tidak masuk akal ini menunjukkan seberapa jauh Washington bersedia untuk memanfaatkan wewenang regulasinya untuk mencapai tujuan tertentu dengan dalih keamanan nasional.
Pada kenyataannya, pengeluaran militer yang meningkat melayani kebutuhan kelompok-kelompok kepentingan khusus, bukan untuk mengatasi ancaman keamanan yang nyata.
Kompleks industri militer, hubungan simbiosis mutualisme antara pejabat pemerintah dan kontraktor pertahanan swasta, telah diuntungkan dari hampir setiap konflik militer yang dialami AS dalam beberapa dasawarsa terakhir.
Sebuah laporan dari proyek bernama “Biaya Perang” (Costs of War) dari Brown University menunjukkan bahwa pengeluaran Pentagon telah mencapai lebih dari 14 triliun dolar sejak dimulainya perang di Afghanistan. Sepertiga hingga setengah dari total tersebut telah disalurkan ke perusahaan-perusahaan pertahanan, yang sebagian besar di antaranya memiliki hubungan langsung dengan mantan pejabat pemerintah.
“Pintu berputar” (revolving door) antara layanan pemerintah dan industri pertahanan ini merupakan salah satu simbol yang paling mencolok dari korupsi yang menjadi jantung kebijakan militer AS.
Menurut The New York Times, setidaknya 50 mantan pejabat Pentagon dan keamanan nasional, yang sebagian besar meninggalkan pemerintah federal dalam lima tahun terakhir, kini bekerja di perusahaan modal ventura atau ekuitas swasta yang berhubungan dengan pertahanan sebagai eksekutif atau penasihat.
Mereka terus berinteraksi secara teratur dengan pejabat Pentagon atau anggota Kongres untuk mendorong perubahan kebijakan atau peningkatan pengeluaran militer yang dapat menguntungkan perusahaan-perusahaan tempat mereka berinvestasi.
Sementara itu, pengeluaran militer yang meroket telah membebani anggaran fiskal AS, menekan sumber daya yang seharusnya dapat digunakan untuk kesejahteraan sosial.
Menurut Institute for Policy Studies, sebuah wadah pemikir (think tank) yang berbasis di Washington, para pembayar pajak AS rata-rata menyumbang 1.087 dolar AS untuk kontraktor Pentagon, dibandingkan dengan 270 dolar AS untuk pendidikan dasar.
Semakin banyak warga AS yang merasa tidak puas dengan penggunaan sumber daya nasional yang terus menerus oleh kompleks industri-militer, sementara sektor-sektor penting yang berkaitan dengan mata pencaharian masyarakat kurang mendapatkan perhatian.
Seperti yang dikemukakan oleh Bernie Sanders, senator independen yang mewakili Negara Bagian Vermont, yang memberikan suara menentang RUU tersebut, AS tidak “memerlukan sistem pertahanan yang dirancang untuk menghasilkan keuntungan besar bagi sekelompok kontraktor pertahanan raksasa, sementara mengabaikan kebutuhan negara ini yang sebenarnya.”
Pada kenyataannya, di bawah kedok “keamanan nasional”, kebijakan militer AS terus melayani kepentingan segelintir orang yang berkuasa, dan bukan masyarakat umum.
*1 dolar AS = 16.196 rupiah
Laporan: Redaksi