UMKM memiliki risiko tinggi dalam hal proses produksi dan menjaga kualitas produk (quality control), padahal sektor ini berpotensi mengubah ekonomi, mendorong penciptaan lapangan kerja, dan mendorong pertumbuhan ekonomi yang adil jika diberikan dukungan yang memadai.
Bogor, Jawa Barat (Indonesia Window) – Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM), yang mencakup 90 persen bisnis, menyediakan lebih dari 70 persen lapangan pekerjaan, dan 50 persen Produk Domestik Bruto (PDB) di seluruh dunia, telah menjadi inti perekonomian bagi sebagian besar masyarakat di seluruh dunia.
Namun demikian, menurut praktisi bisnis Syafei, UMKM memiliki risiko tinggi dalam hal proses produksi dan menjaga kualitas produk.
“Contoh sederhana adalah produksi pastel skala rumah tangga. Gorengan tahap pertama pasti hasilnya bagus, dengan warna golden brown dan sebagainya. Dan ini biasanya yang dipakai untuk foto produk. Tapi hasil gorengan selanjutnya biasanya tidak sama bagus seperti yang pertama,” ujarnya di Bogor, Jawa Barat, beberapa waktu lalu.
Hal tersebut, lanjutnya, disebabkan UMKM belum memiliki Standard Operating Procedure (SOP) dalam proses produksi mereka.
“Kebanyakan UMKM belum memiliki SOP untuk menjaga kualitas produk, sehingga ini bisa menjadi risiko bagi pembeli dan memengaruhi jalannya bisnis pengusaha,” ujar Syafei yang juga merupakan Direktur Utama PT Sarira Group Indonesia itu.
Menurut dia, menjaga kualitas produk UMKM dapat dilakukan dengan cara yang sederhana. “Misalnya, pelaku usaha bisa memajang foto pastel terbaik mereka di tembok dapur sebagai acuan saat menggoreng pastel. Atau saat produksi kue lemper, porsi ketan harus ditimbang, bukan dikira-kira sebesar kepalan tangan.”
Selain aspek produksi, pemodalan, pemasaran, penjualan, dan lainnya, para pelaku UMKM juga harus memperhatikan kualitas produk mereka agar tetap bisa memenuhi keinginan konsumen dan mempertahankan eksistensinya, ujar Syafei.
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyebutkan, sebagai tulang punggung masyarakat, UMKM berkontribusi pada ekonomi lokal dan nasional serta menopang mata pencaharian, khususnya di kalangan pekerja miskin, perempuan, pemuda, dan kelompok dalam situasi rentan.
UMKM berpotensi mengubah ekonomi, mendorong penciptaan lapangan kerja, dan mendorong pertumbuhan ekonomi yang adil jika diberikan dukungan yang memadai.
Syafei berharap, quality control masuk dalam sesi-sesi pelatihan yang diselenggarakan bagi pelaku UMKM.
Data dari Badan Pusat Statistik Indonesia menyebutkan, pada 2023 jumlah pelaku UMKM mencapai sekitar 66 juta. Kontribusi UMKM di Tanah Air mencapai 61 persen dari PDB Indonesia, setara 9.580 triliun rupiah, dan menyerap sekitar 117 juta pekerja (97 persen) dari total tenaga kerja. Sementara itu, Jawa Barat mencatat 4,4 juta pelaku di sektor usaha ini.
Laporan: Redaksi