Banner

Jakarta (Indonesia Window) – Dalam masyarakat Indonesia kompetisi, prestasi dan kesuksesan dimulai di sekolah dan berlanjut sepanjang kehidupan, termasuk di tempat kerja dan kehidupan sosial.

Menurut profesor psikologi sosial asal Belanda, Geert Hosfstede, Indonesia menunjukkan nilai yang relatif tinggi untuk maskulinitas dibandingkan dengan negara-negara Eropa Utara yang cenderung feminin.

Berkaitan dengan parameter-parameter keberhasilan sekolah (nilai dan ranking) itu, saya pikir justru aneh.

Pertama, bagaimana mungkin kemampuan memahami anak dinilai dari ujian, sedangkan pemahaman sangat berbeda dengan kemampuan menghapal.

Soal ujian sebagian besar berisi pertanyaan tentang apa yang bisa diingat dari materi yang pernah disampaikan. Mungkin ada soal yang bertujuan menguji pemahaman, namun jawabannya akan menjadi subyektif. Penilaian pun akan semakin sulit karena jika anak memiliki pemahaman yang sedikit berbeda (tidak sama persis), apakah berarti si anak yang tidak pintar? Apakah tidak mungkin kalau guru-lah yang tidak mampu menjelaskan?

Ke dua, mengapa si anak harus bersaing dengan teman sebayanya, apalagi jika daya pemahaman mereka sejak awal sudah berbeda. Tidakkah lebih baik jika mereka bersaing dengan diri mereka sendiri dan ini bisa dinilai dari perkembangan setiap anak dari hari ke hari.

Ke tiga, apa untungnya jika si anak tahu bahwa dia ada di ranking terrendah? Karena dampaknya bisa dua, si anak semakin semangat belajar atau justru membuat mereka semakin minder.

Ke empat, apakah yang selalu ranking satu akan termotivasi untuk belajar terus, atau justru menjerumuskan mereka belajar hanya untuk mengejar angka?

Sekolah: di mana seharusnya anak tumbuh dan berkembang (2 dari 2 tulisan)
Ilustrasi. (Photo by Aaron Burden on Unsplash)

Tidakkah lebih baik jika si anak merasa bahwa dirinya memiliki potensi yang bisa digali melalui kegiatan belajar yang asyik dan menarik. Dengan begitu para pendidik akan lebih sibuk untuk menumbuhkan minat belajar dan mengasah rasa ingin tahu anak.

Saya pikir hal-hal tersebut jauh lebih berharga dari pada mengumpulkan informasi dan menghapalkannya, kemudian duduk mengerjakan ujian.

Bagaimanapun juga, ujian adalah “stressor”. Menunggu hasil ujian, wawancara dan sejenisnya sudah bisa membuat orang dewasa dag dig dug. Apalagi untuk anak-anak usia 5-9 tahun. Pasti mereka juga merasa resah, gundah, stress dan berdebar-debar.

Meski demikian, saya setuju dengan kompetisi dan ujian, namun harus sehat dan bermanfaat dengan cara membuat porsinya ccocok dengan usia anak. Anak pun harus dipersiapkan secara mental jikalau menang atau kalah.

Filosofi pembelajaran inilah yang diterapkan di Inggris. Pada usia balita hingga 6 tahun anak diajarkan belajar sambil bermain dengan benda yang bisa dipegang dan. Kemudian pada usia 7-11 tahun (setara kelas 2-6 SD) mereka mulai duduk serius dan belajar hal-hal yang abstrak.

Dan di kelas 2 SD -lah anak mengerjakan ujian yang dinamakan SATS, yang lebih bertujuan mengukur kinerja sekolah, bukan kemampuan anak.

Ujian selanjutnya ada di kelas 6. Hasil ujian ini pun tidak mempengaruhi pilihan sekolah untuk tingkat selanjutnya karena semua anak kelas 6 pasti lanjut ke kelas 7. Tidak ada yang tidak lulus!

Menurut saya, tak ada anak yang dilahirkan dengan keinginan untuk bersaing. Rasa ingin bersaing muncul setelah ada rangsangan dari luar, seperti adik baru, teman baru yang dianggap “mengancam” keberadaan mereka. Atau aba-aba dari orang tua bahwa mereka harus ranking satu, menang, juara dan lain sebagainya.

Sekolah favorit

Saya sendiri meyakini, sekolah menjadi favorit tidak terjadi dalam waktu sekejap. Perlu perjuangan bertahun-tahun untuk sebuah sekolah akhirnya bisa menjadi sekolah favorit.

Menurut saya, sekolah favorit tidak perlu dihapus sama sekali. Satu sekolah favorit di setiap provinsi sudah cukup. Tak perlu zonasi, hanya perlu ujian masuk lokal (bukan nasional). Sama seperti “Grammar School” di Inggris. Selebihnya, setiap sekolah harus menerima peserta didik tanpa pilih kasih.

Namun sebelum semua konsep pendidikan diterapkan, harus ada sosialisasi yang jelas, pembiayaan yang maksimal dan kurikulum yang benar-benar mengubah cara pandang.

Sayangnya, hal tersebut sepertinya sulit diwujudkan dengan pendidikan sekuler saat ini. Karena pendidikan sekarang lebih fokus kepada pencapaian materi (uang). Semakin favorit sebuah sekolah, semakin terbuka peluang untuk menembus universitas ternama. Maka semakin besar pula peluang untuk mendapat pekerjaan yang layak (meski tidak selalu demikian).

Padahal tingkat pendidikan tidak menentukan rezeki seseorang. Richard Branson dan Alan Sugar adalah dua bilyuner ternama Inggris yang tidak pernah mencicipi bangku kuliah. Namun mereka berhasil membangun kerajaan bisnis yang omzet milyaran.

Sementara pendiri Apple Inc, Steve Jobs, “drop out” dari Reed College di Amerika Serikat namun meninggalkan produk yang sudah terjual 1 miliar unit di seluruh dunia sepanjang 2007-2017.

Seandainya pendidikan sepadan dengan jumlah pendapatan, maka teori ini bisa dipatahkan dengan keberadaan ketiga orang di atas.

Namun jika pendidikan bertujuan mempertajam dan menambah kekayaan intelektual, membentuk karakter dan etos kerja, membangun kemampuan berpikir kritis, inovatif dan revolusioner, maka tentu pendidikan akan menghasilkan cendikiawan dan ilmuan hebat di masyarakat.

Penulis: Yumna Umm Nusaybah (Pemerhati pendidikan dan masalah sosial, tinggal di London, Inggris)

Tinggalkan Komentar

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Iklan