Jakarta (Indonesia Window) – Pada bulan Juni tahun ini, Kementerian Kehakiman dan Kementerian Keamanan Negara Republik Rakyat China beserta kementerian lainnya menerbitkan ‘Pedoman peradilan untuk menjatuhkan hukuman pidana kepada separatis kemerdekaan Taiwan garis keras atas tindak pidana melakukan atau menghasut pemisahan diri’. Pedoman tersebut menetapkan bahwa perilaku separatis ‘kemerdekaan Taiwan’ termasuk dalam tindak pidana melakukan dan menghasut pemisahan diri, dan siapa saja yang berkolusi dengan individu, lembaga, dan organisasi asing atau luar negeri mengenai perihal hal tersebut juga dapat dikenakan hukuman berat.
Pernyataan tertulis dari Kantor Ekonomi dan Perdagangan Taipei (Taipei Economic and Trade Office/TETO) yang diterima di Jakarta, Selasa, menyebutkan bahwa pedoman tersebut dirancang tidak hanya bertujuan membatasi kemerdekaan dan demokrasi Taiwan tetapi juga menginternasionalisasikan gaya otoriter Tiongkok dalam hukum pidana, serta menekan gagasan dan upaya menjatuhkan hukuman pidana kepada komunitas internasional yang berbeda pendapat dengan Partai Komunis Tiongkok.
Upaya Tiongkok untuk mengubah status quo secara sepihak dan merusak perdamaian serta stabilitas kawasan melalui perang hukum “lawfare” dan tindakan mengancam sudah seharusnya dikecam keras oleh komunitas internasional, sebut pernyataan tersebut.
Selanjutnya, TETO menyatakan, “Dalam beberapa tahun terakhir Tiongkok terus terlibat dalam berbagai kasus perang hukum ‘lawfare’ melawan Taiwan, dan Tiongkok terus salah menafsirkan United Nations General Assembly Resolution 2758 di dunia internasional untuk dengan sengaja menciptakan ilusi “satu Tiongkok”.
Di tahun 2005, Tiongkok mengesahkan Undang-Undang Anti-Pemisahan untuk menanamkan “prinsip satu Tiongkok” ke dalam hukum domestik dan dengan jelas menyatakan bahwa “masalah Taiwan adalah warisan dari perang saudara Tiongkok” dengan tujuan mengkategorikan dan mengunci masalah Taiwan sebagai “urusan dalam negeri”. Hal itu akan mencegah atau menghalangi komunitas internasional untuk campur tangan dalam isu lintas selat, serta menciptakan dasar hukum untuk invasi militer di masa depan dan aneksasi paksa Taiwan. Hal ini tidak hanya mengancam Taiwan tetapi juga membahayakan perdamaian dan stabilitas di seluruh kawasan Indo-Pasifik.
Di dalam “22 Pedoman tentang Hukuman kepada Separatis Kemerdekaan Taiwan” terdapat peraturan “yurisdiksi ekstrateritorial”, “ketiadaan daluwarsa penuntutan”, dan “peradilan in absentia” yang telah melanggar prinsip hukum pidana umum, dan juga melanggar batas yurisdiksi hukum internasional dan perlindungan hak asasi manusia dalam hukum internasional.
Sebagai contoh: di bawah pedoman tersebut, Tiongkok tidak hanya dapat menghukum warga negara Taiwan tetapi juga warga negara lain melalui peradilan yang dilaksanakan di dalam negeri secara in absentia dan kemudian dapat mengeluarkan pemberitahuan merah (red notice) melalui INTERPOL dan meminta kepada semua otoritas penegak hukum di negara-negara anggota INTERPOL di seluruh dunia untuk mencari dan menangkap orang-orang tersebut dengan maksud agar mereka diekstradisi dan menjalani hukuman di Tiongkok.
Yurisdiksi lengan panjang Tiongkok tidak hanya berdampak pada Taiwan, tetapi juga akan berdampak kepada warga negara lain, melanggar hak asasi manusia dan kedaulatan berbagai negara serta melanggar hukum internasional dan prinsip-prinsip dasar yang mengatur hubungan internasional.
Pedoman tersebut berlaku untuk semua warga negara non-Tiongkok, dan juga berlaku untuk semua organisasi non-Tiongkok di semua sektor, termasuk sektor politik, bisnis, pendidikan, kebudayaan, sejarah, media dan sektor lainnya dan memiliki pengaruh yang sangat luas.
Hukum pidana Tiongkok juga menetapkan pendanaan separatisme sebagai tindak pidana. Masyarakat biasa dan pengusaha yang menyumbang ke organisasi terkait juga beresiko dituntut oleh Tiongkok. Sebagai contoh, anggota parlemen dari negara-negara yang mempromosikan undang-undang ramah Taiwan untuk membantu Taiwan dalam mempromosikan kerja sama internasional dengan Taiwan atau mendukung partisipasi Taiwan dalam organisasi internasional mungkin dapat dituntut oleh Tiongkok atas tindak pidana tersebut.
Perang hukum “lawfare” Tiongkok terhadap Taiwan telah mencapai titik di mana hal itu telah menekan kebebasan berbicara secara global. Lebih lanjut,
“Tindak Pidana Separatisme” Tiongkok juga berlaku untuk warga negara non-Tiongkok, dibuktikan dengan pengumuman sanksi Tiongkok terhadap Hudson Institute dan Ronald Reagan Presidential Library and Center for Public Affairs pada bulan April 2023.
Taiwan dan Indonesia memiliki pertukaran dan kerja sama yang erat di berbagai bidang, serta berbagi nilai-nilai universal seperti demokrasi, kebebasan dan hak asasi manusia. Saat ini terdapat sekitar 400.000 warga negara Indonesia yang tinggal di Taiwan untuk belajar dan bekerja, dan terdapat lebih dari 20.000 warga negara Taiwan yang tinggal di Indonesia untuk bekerja dan berbisnis.
Tiongkok terus memperkuat berbagai undang-undang keamanan nasional dan penindakannya, dan terus berupaya untuk menekan kebebasan berpendapat warga negara Taiwan dan negara-negara di seluruh dunia serta melanggar hak asasi manusia dari masyarakat dunia.
Dengan diterbitkan “Pedoman” ini Tiongkok ingin menciptakan “efek dingin” politik dan memperlihatkan sifat totaliter Tiongkok yang telah melanggar nilai-nilai universal seperti demokrasi dan hak asasi manusia serta mengabaikan prinsip dasar hukum internasional.
Taipei Economic and Trade Office in Indonesia menyerukan kepada pemerintah, industri, pengusaha, akademisi, institusi, dan media di Indonesia untuk menaruh perhatian besar dan mengecam keras tindakan Tiongkok tersebut karena tidak hanya mengancam perdamaian dan stabilitas selat Taiwan dan kawasan, tetapi juga secara serius telah mengancam dan menganiaya demokrasi, kebebasan dan tatanan internasional yang berbasis aturan, menurut pernyataan TETO.
Laporan: Redaksi