Robot-robot humanoid dengan kemampuan interaksi emosional akan memainkan peran yang lebih besar di berbagai sektor termasuk perawatan kesehatan dan pendidikan, dengan penerapan yang potensial di bidang konseling psikologis dan manajemen kesehatan.
Beijing, China (Xinhua/Indonesia Window) – Sembari membungkus nasi sushi dengan tangannya yang lincah, seorang ‘koki ahli’ atau ‘master chef’ berambut perak mencondongkan tubuhnya ke meja sushi dan fokus pada keahliannya dengan penuh dedikasi. Di depan sang koki, sabuk konveyor dipenuhi dengan sushi tuna yang beraroma harum dan sushi gulung yang lezat, membawa pengunjung dalam perjalanan imersif ke sebuah restoran sushi autentik yang terletak di kawasan permukiman di Tokyo.
Namun, pada kenyataannya, para pengunjung tersebut dikelilingi oleh kumpulan robot humanoid, termasuk sang ‘master chef’ sendiri. Robot-robot itu, dengan penampilan yang sangat mirip dengan manusia asli, memiliki kerutan yang terlihat jelas di wajah dan urat nadi di bawah ‘kulit’ mereka, sehingga mengaburkan batas antara manusia dan mesin.
Tampilan yang begitu jelas itu tidak lagi terbatas pada klip demo yang menarik perhatian, tetapi sekarang menjadi bagian dari demonstrasi oleh EX-Robots, sebuah perusahaan terkemuka di industri robotika China yang berbasis di Dalian. Di EX-Robots, banyak dari robot humanoid ini telah berkembang dari desain yang mulus dan futuristik menjadi bentuk yang sangat mirip dengan manusia, menumbuhkan suasana yang lebih alami dan santai untuk interaksi antara manusia dan robot.
Menurut Li Boyang, salah satu pendiri sekaligus CEO perusahaan itu, kuncinya terletak pada ekspresi wajah yang disempurnakan dan kemampuan untuk membangun hubungan emosional dengan para pengguna.
“Dalam hal teknologi inti, fitur-fitur unik kami meliputi ekspresi wajah robot yang cerdas dan tangannya yang cekatan. Algoritma kami berfokus pada model besar multimodal yang meningkatkan kemampuan emosional dan perseptual, serta pengambilan keputusan yang pintar dan kemampuan interaksi layaknya manusia, seperti ucapan, ekspresi wajah, dan gestur,” urai Li.
Lebih lanjut, Li menyoroti bahwa perusahaannya berkomitmen untuk menyempurnakan cara robot dalam memahami dan merespons emosi manusia, terutama dalam percakapan dan saat membaca dengan suara keras. Penelitian ini merupakan bagian dari upaya yang lebih luas untuk meningkatkan kemampuan kognitif robot, terutama keterampilan mereka dalam mengenali ekspresi wajah dan isyarat emosional.
Saat ini, EX-Robots memproduksi antara 400 hingga 500 unit robot setiap tahunnya, sebagian besar digunakan di museum-museum dan institusi pendidikan. Kendati demikian, perusahaan itu memperkirakan bahwa seiring dengan menurunnya biaya produksi, akan ada berbagai penerapan yang lebih luas untuk robot-robot mereka di banyak bidang.
Ke depannya, banyak pelaku industri termasuk Li meyakini bahwa robot-robot humanoid dengan kemampuan interaksi emosional akan memainkan peran yang lebih besar di berbagai sektor termasuk perawatan kesehatan dan pendidikan, dengan penerapan yang potensial di bidang konseling psikologis dan manajemen kesehatan.
China, pemain global utama di sektor robot humanoid sekaligus pasar terbesar di dunia untuk penerapan robot, menyaksikan peningkatan fokus terkait penerapan robot dalam berbagai skenario yang memerlukan interaksi emosional. Sejumlah perusahaan termasuk EX-Robots berada pada garis terdepan gerakan ini, mendorong batasan tentang apa yang dapat dilakukan oleh robot.
Selain berbagai kemajuan dalam bidang korporat, riset akademis juga memberikan kontribusi pada sektor tersebut.
Sebuah tim penelitian yang dipimpin oleh Liu Xiaofeng, profesor di Universitas Hohai di Provinsi Jiangsu, telah memperkenalkan algoritma baru untuk menghasilkan ekspresi wajah pada robot humanoid. Temuan mereka, yang dipaparkan secara mendetail dalam IEEE Transactions on Robotics edisi Juli, menyajikan pendekatan baru untuk sintesis ekspresi wajah yang digerakkan oleh action unit (AU).
Berkat model-model kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) yang canggih, robot kini dapat memahami bahasa manusia dan emosi yang disampaikan lewat nada suara, dan mereka dapat berinteraksi melalui ucapan. Namun, Liu menyatakan bahwa menciptakan ekspresi wajah yang tepat saat “berbicara” masih menjadi tantangan yang signifikan bagi robot humanoid.
Untuk mengatasi tantangan ini, menurut Ni Rongrong dari Universitas Changzhou yang merupakan salah satu penulis jurnal tersebut, tim itu membagi sembilan motor pada wajah robot humanoid menjadi 17 AU untuk memungkinkan ekspresi yang lebih kaya dan transisi yang lebih mulus melalui gerakan yang terkoordinasi.
“Setiap unit seperti sebuah huruf, dan dengan menggabungkan huruf-huruf yang berbeda, kami menyusun kata-kata,” urai Ni.
Liu memperkirakan bahwa seiring dengan meningkatnya kemampuan interaksi emosional, robot-robot ini akan semakin banyak digunakan di berbagai lokasi seperti panti wreda, taman kanak-kanak, dan sekolah luar biasa (SLB), di mana keterlibatan emosional dan intelektual yang tinggi sangat berharga.
Namun, di ajang World Robot Conference 2024 yang baru saja berakhir di Beijing, umpan balik dari para pengunjung sangat beragam. Beberapa pengunjung mengungkapkan antusiasme mereka terhadap robot pendamping, sementara yang lain menyuarakan kekhawatiran.
Berdiri di dekat deretan robot humanoid yang menirukan ucapan manusia, dengan pipi mereka yang bergerak-gerak secara berirama, seorang pengunjung bermarga Lyu menggambarkan suasana itu “sedikit menyeramkan.” “Saya tahu penyebabnya mungkin uncanny valley effect (suatu perasaan tak nyaman yang dirasakan seseorang ketika benda mati memiliki karakter seperti manusia tetapi kurang realistis), namun saya hanya tidak dapat membayangkan akan bisa menikmati interaksi emosional dengan mereka,” imbuhnya.
Menanggapi pembahasan itu, Ren Lei, seorang profesor di Universitas Jilin, menuturkan bahwa robot humanoid saat ini belum mencapai perpaduan sempurna antara bentuk dan esensinya. “Mereka hanya menyimulasi penampilan manusia namun gagal dalam meniru esensi manusia. Kelincahan, ketangkasan, dan ketepatan mereka tidak dapat dibandingkan dengan manusia. Mengingat keterbatasan fungsional ini, banyak robot humanoid masih kekurangan penerapan praktis dan masih jauh dari diimplementasikan sepenuhnya dalam skenario dunia nyata.”
Laporan: Redaksi