Indonesia dan Amerika Serikat sepakat untuk memperkuat hubungan keamanan maritim saat para eksekutif pertahanan tertinggi kedua negara, Menteri Pertahanan RI Probowo Subianto dan timpalan AS-nya Mark T. Esper bertemu di Washington baru-baru ini.
Namun, belum ada rincian tentang bagaimana komitmen tersebut akan dilaksanakan. Dengan meningkatnya ketegangan di Laut China Selatan akibat ketegasan China di perairan, secara logis ruang lingkup kerja sama itu diprediksi mencakup, antara lain kesadaran domain maritim.
Sebagai negara dengan kemampuan MDA (Missile Defense Agency) tercanggih, AS diprediksi akan memberikan bantuan (perangkat keras, perangkat lunak, pelatihan) kepada Indonesia guna meningkatkan kapasitasnya dalam memantau wilayah perairannya yang luas.
Kemampuan tersebut tampaknya juga akan digunakan untuk mengawasi manuver apa pun yang dilakukan oleh Angkatan Laut China PLA (People’s Liberation Army) di Laut China Selatan.
Oleh karena itu, TNI Angkatan Laut akan menjadi pihak utama yang terlibat dalam hubungan keamanan laut kedua negara yang semakin erat.
Dukungan AS diharapkan akan meningkatkan kekuatan TNI AL untuk melaksanakan Poros Maritim Global visi Presiden Joko Widodo.
Selain TNI AL, Indonesia sebenarnya juga memiliki badan lain untuk menjalankan program tersebut, yakni Badan Keamanan Laut atau disingkat Bakamla.
Pertanyaannya, haruskah Bakamla diuntungkan juga dari kerja sama keamanan maritim yang intensif antara Indonesia dan AS? Ini adalah pertanyaan retoris karena lembaga tersebut merupakan lembaga yang terpisah dari Kementerian Pertahanan.
Selain itu, Bakamla memiliki program sendiri termasuk dengan siapa akan menjalin kerja sama. Tetapi pertanyaan tersebut layak untuk dikemukakan karena beberapa alasan.
Pertama, ada sentimen yang berkembang di dalam badan tersebut bahwa ia harus berpasangan dengan Kementerian Pertahanan untuk mendapatkan lebih banyak dukungan domestik demi mempertahankan keberadaannya yang rentan.
Kondisi tersebut bermula dari latar belakang kelembagaannya yang kontroversial. Badan itu dibangun tergesa-gesa pada tahap akhir pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono setelah persyaratannya dibahas di DPR selama lebih dari dua tahun.
Saat itu, Bakamla dielu-elukan oleh komunitas maritim lokal sebagai obat mujarab untuk manajemen keamanan maritim Indonesia yang rumit, tidak efisien, dan membebani para pelaku pelayaran.
Setelah enam tahun berdirinya Bakamla, harapan tersebut jauh dari kenyataan.
Bahkan, tampaknya situasi semakin memburuk karena Bakamla juga terlibat dalam pelarangan kapal di laut, sesuatu yang seharusnya berkurang dengan hadirnya badan tersebut.
Dalam hal komunikasi kelembagaan, Bakamla juga dinilai tidak bijak karena pernyataannya yang berulang tentang peleburan lembaga maritim nasional lainnya ke dalam badan tersebut.
Alhasil, citra Bakamla di antara lembaga-lembaga kembarnya otomatis menjadi kurang baik, sehingga menghambat proses koordinasi yang diamanatkan kepadanya untuk mengawal legalitas pendiriannya di bawah Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan.
Menurut aturan, Bakamla bukan badan militer dan oleh karena itu bukan bagian dari Tentara Nasional Indonesia (TNI), meski dikepalai oleh laksamana angkatan laut aktif dan sebagian besar personelnya adalah perwira TNI AL yang diperbantukan. Bakamla sepenuhnya adalah institusi sipil.
Sentimen untuk bergerak sedikit lebih dekat ke Kementerian Pertahanan adalah cara untuk melengkapi Bakamla dengan budaya militeristik serta menunjukkan posisinya sebagai institusi cadangan.
Kedua, masalah keamanan laut yang semakin terkonsentrasi pada aspek non-tradisional yang bercirikan konflik tingkat rendah, penegakan hukum yang berat, antara lain dimana peran penjaga pantai semakin vital.
Dalam konteks itu Bakamla – yang mengaku sebagai penjaga pantai Indonesia – menilai dirinya sebagai pihak yang tepat untuk menjalankan misi tersebut di wilayah yurisdiksi perairan Indonesia.
Di sisi lain, Kesatuan Penjagaan Laut dan Pantai (KPLP) Kementerian Perhubungan mendeklarasikan dirinya berdasarkan UU Pelayaran No. 17/2008. Dalam praktiknya, KPLP berfokus pada keselamatan pelayaran komersial dan armada penangkapan ikan.
Aspek keselamatan juga menjadi salah satu misi Bakamla yang kerap melancarkan operasi yang ditujukan pada kapal dengan kondisi di bawah standar.
Preferensi badan tersebut untuk kedekatan langsung dengan Kementerian Pertahanan dapat dipahami sebagai upaya untuk mendapatkan pengakuan dari komunitas militer setempat.
Ketiga, Bakamla sangat ingin meningkatkan kapasitasnya sehingga membutuhkan berbagai peralatan untuk mendukung operasi MDA-nya.
Salah satu bidang yang sangat dibutuhkan mereka adalah pengawasan maritim.
Saat ini badan tersebut mengelola dua stasiun bumi satelit di Bangka Belitung dan Bitung (Provinsi Sulawesi Utara).
Bakamla juga mengoperasikan 20 pangkalan – baik diam maupun bergerak – dibangun di seluruh tanah air.
Semua fasilitas tersebut dilengkapi dengan perangkat elektronik untuk membaca sinyal marabahaya melalui sistem keselamatan laut global/GMDSS dan informasi identifikasi kapal melalui sistem identifikasi otomatis/AIS. Sistem pelacakan kapal lainnya juga tersedia.
Sayangnya, seperti yang diungkapkan oleh pihak yang mejadi sumber penulis dalam artikel ini, semua fasilitas electronic intelligence (ELINT) tersebut berkinerja buruk, dan hanya mampu membaca AIS.
Namun, stasiun bumi itu rusak. Sumber tersebut mengatakan Bakamla tidak memiliki peralatan sama sekali. Operasi stasiun bumi telah berhenti beberapa tahun yang lalu karena masalah terkait praktik pengadaan dan tidak ada indikasi akan dilanjutkan.
Bakamla pada dasarnya menjalin komunikasi intensif dengan AS.
AS disebut membantu badan tersebut, antara lain, membangun akademi khusus di Batam, Provinsi Kepulauan Riau. Sebelumnya, AS memfasilitasi pelatihan dan pendidikan bagi para petugas Bakamla di Amerika Serikat.
Sejauh ini, tidak pernah terdengar bahwa AS akan memberikan lebih banyak kepada Bakamla, seperti satelit dan aset lainnya.
Hubungan keamanan laut Indonesia-AS yang diperkuat dengan kunjungan Prabowo Subianto memang bisa menguntungkan Bakamla.
Namun, sayangnya kita tidak melihat badan tersebut terwakili dalam delegasi Kementerian Pertahanan RI saat berkunjung ke AS.
Sumber saya mengungkapkan, hal tersebut karena adanya longgarnya hubungan pribadi Prabowo dan pemimpin Bakamla.
Penulis: Siswanto Rusdi [Direktur The National Maritime Institute (NAMARIN), lembaga think tank maritim independen di Jakarta]