Perjuangan untuk memperoleh air minum bersih menunjukkan betapa intensnya perang telah menghancurkan kehidupan sehari-hari di Gaza.
Gaza, Palestina (Xinhua/Indonesia Window) – Selama berbulan-bulan, keluarga Emad Abu Hamad, yang beranggotakan enam orang dan berasal dari Kota Khan Younis, Jalur Gaza selatan, terguncang oleh penderitaan yang harus mereka alami setiap hari akibat perang yang sedang berlangsung.
Saat pria Palestina itu pulang ke kediamannya, dia terkejut mendapati rumahnya telah hancur. Emad memutuskan untuk mendirikan tenda di atas reruntuhan rumahnya di tengah minimnya berbagai kebutuhan dasar, seperti air, makanan, dan listrik. Untuk mendapatkan air minum dan makanan, ayah berusia 32 tahun tersebut beserta anak-anaknya harus mengantre panjang selama berjam-jam setiap hari.
“Sebelumnya, saya biasa membeli makanan dengan leluasa dan membeli air hasil desalinasi dari toko,” ujarnya kepada Xinhua, “namun kini, kadang kala saya terpaksa menggunakan air asin dan meminumnya, yang berdampak negatif bagi kesehatan kami.”
Setiap pagi, warga di Jalur Gaza mengantre selama berjam-jam di bawah teriknya sinar matahari untuk mengisi botol dan jeriken dengan air minum, ungkap Badan Bantuan dan Pekerjaan PBB untuk Pengungsi Palestina di Timur Dekat (United Nations Relief and Works Agency for Palestine Refugees in the Near East/UNRWA) di platform media sosial X pada Juli.
“Lalu, banyak dari mereka harus berjalan menempuh jarak yang jauh sambil membawa beban berat pada musim panas yang terik. Rutinitas yang melelahkan ini terus berulang lagi dan lagi di Gaza,” imbuh UNRWA.
Ketersediaan air bersih sudah langka di daerah kantong pesisir yang terkepung itu sebelum perang berkecamuk, dan masalah tersebut diperburuk oleh musim panas yang terik dan kering, pengetatan blokade, dan kerusakan infrastruktur yang parah akibat perang. Perjuangan untuk memperoleh air minum bersih menunjukkan betapa intensnya perang telah menghancurkan kehidupan sehari-hari di Gaza.
Di Jalur Gaza, sekitar 67 persen fasilitas dan infrastruktur air dan sanitasi telah hancur atau rusak akibat berbagai aktivitas terkait perang, sebut UNRWA pada Juni.
Rentang ketersediaan dan konsumsi air di Jalur Gaza tercatat antara dua hingga sembilan liter per kapita per hari. Namun, jumlah minimum air yang dibutuhkan dalam situasi darurat adalah 15 liter per kapita per hari, papar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Kelangkaan air juga menimbulkan banyak kesulitan lainnya. Sebagai contoh, para ibu di Gaza tidak memiliki air bersih untuk menyeduh susu formula bubuk untuk bayi mereka dan harus memanfaatkan air hujan atau air asin dari sumur-sumur yang telah terkontaminasi. Beberapa anak hanya dapat mandi di bak mandi kecil, dengan air yang telah digunakan untuk mencuci piring.
Berbagai risiko kesehatan juga meningkat. UNRWA pada Mei menyampaikan bahwa kondisi tempat tinggal yang penuh sesak dan terbatasnya akses air bersih meningkatkan risiko penyakit menular. Lonjakan kasus hepatitis akut dan berbagai bentuk diare pun telah dilaporkan.
Bukti adanya virus polio tipe 2 pada sampel-sampel limbah yang diambil dari Jalur Gaza telah ditemukan dalam sejumlah pengujian yang dilakukan di Israel, urai Kementerian Kesehatan Israel pada Juli. Hal ini menimbulkan kekhawatiran terkait keberadaan virus itu di area tersebut.
Amjad al-Ghoul, yang rumahnya hancur dalam sebuah operasi Israel, berupaya mendirikan tenda sementara di dekat kamp pengungsi Jabalia di Jalur Gaza utara.
Semua tempat penampungan sudah penuh sesak oleh para pengungsi, dan situasi di tempat itu tidak terbayangkan, ujarnya sambil berupaya membersihkan air limbah di sekitar tendanya.
“Apa kesalahan anak-anak dalam semua hal ini? Mereka bertahan hidup dari perang, tetapi mereka akan meninggal akibat berbagai penyakit yang disebabkan oleh bencana lingkungan dan kesehatan,” tutur al-Ghoul dengan nada prihatin.
Laporan: Redaksi