Banner

Laporan ADB: Asia dan Pasifik entaskan 2,7 miliar orang dari kerawanan air, namun degradasi ekosistem ancam progres

Seorang pria berjalan di tepian Sungai Tigris di Baghdad, Irak, pada 25 Juli 2025. (Xinhua/Khalil Dawood)

Kerawanan air ekstrem di Asia dan Pasifik dalam 12 tahun terakhir telah diatasi, namun terancam oleh kerusakan lingkungan yang semakin cepat dan kesenjangan pendanaan yang besar.

 

Manila, Filipina (Xinhua/Indonesia Window) – Lebih dari 60 persen populasi Asia dan Pasifik, atau sekitar 2,7 miliar orang, telah terentaskan dari kerawanan air ekstrem dalam 12 tahun terakhir, tetapi pencapaian yang diperoleh dengan susah payah ini terancam oleh kerusakan lingkungan yang semakin cepat dan kesenjangan pendanaan yang besar, menurut laporan terbaru Bank Pembangunan Asia (Asian Development Bank/ADB).

Asian Water Development Outlook (AWDO) 2025, yang diterbitkan pada Selasa (9/12), menemukan bahwa komitmen politik yang diperbarui, investasi yang tertarget, dan reformasi tata kelola sejak 2013 telah mendorong progres ini.

Namun, degradasi ekosistem, risiko iklim, serta kekurangan dana untuk investasi air mengancam menjerumuskan kembali miliaran orang ke dalam kerawanan air.

Lahan basah, sungai, akuifer, dan hutan yang menopang ketahanan air jangka panjang mengalami kerusakan dengan cepat. Peristiwa cuaca ekstrem mengancam sebuah kawasan yang telah menyumbang 41 persen dari banjir di dunia. Dalam beberapa pekan terakhir, sejumlah wilayah di Asia Tenggara dan Asia Selatan dilanda banjir dahsyat.

Banner

AWDO memperkirakan bahwa 4 triliun dolar AS hingga 2040, atau 250 miliar dolar AS per tahun, dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan air, sanitasi, dan kebersihan (water, sanitation, and hygiene/WASH) di kawasan ini saja.

*1 dolar AS = 16.666 rupiah

“Kisah air di Asia merupakan kisah tentang dua realitas, dengan pencapaian monumental dalam hal ketahanan air yang dibarengi dengan meningkatnya risiko yang dapat merusak progres ini,” ujar Direktur Senior ADB untuk Pembangunan Air dan Perkotaan, Norio Saito.

“Tanpa ketahanan air, tidak ada pembangunan. Laporan ini menunjukkan bahwa kita harus segera bertindak untuk memulihkan kesehatan ekosistem, memperkuat ketahanan, meningkatkan tata kelola air, dan menerapkan pembiayaan inovatif untuk mewujudkan ketahanan air jangka panjang, terutama bagi masyarakat yang paling membutuhkan,” imbuh Saito.

AWDO mengkaji ketahanan air dalam lima dimensi, yaitu akses terhadap air bersih dan sanitasi bagi masyarakat pedesaan dan perkotaan, ketersediaan air untuk sektor ekonomi utama seperti pertanian, kondisi sungai dan ekosistem alami lainnya, serta langkah-langkah perlindungan terhadap kekeringan, banjir, dan bencana terkait air lainnya.

AWDO mencatat bahwa progres dapat dipertahankan jika alam dilindungi dan diintegrasikan ke dalam sistem air melalui pemantauan kesehatan sungai nasional, pengendalian polusi yang lebih kuat, serta perlindungan daerah aliran sungai yang lebih baik.

Banner

Sistem tata kelola yang lebih kuat yang memprioritaskan pencegahan akan meningkatkan ketahanan iklim, dan sistem air akan lebih efektif jika badan-badan subnasional diberi sumber daya dan wewenang untuk mengelolanya.

Laporan tersebut mengatakan bahwa upaya-upaya yang dilakukan haruslah inklusif, melibatkan perempuan dan kaum muda, jika investasi ingin berhasil.

Laporan itu menunjukkan bahwa pengeluaran untuk infrastruktur WASH saat ini baru menutupi kurang dari 40 persen dari kebutuhan tahunan yang diperkirakan mencapai 250 miliar dolar AS, sehingga masih ada kekurangan lebih dari 150 miliar dolar AS setiap tahun.

AWDO merupakan laporan penilaian komprehensif mengenai keamanan air di Asia dan Pasifik, yang dirilis setiap tiga hingga enam tahun sekali.

Laporan: Redaksi

Banner

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Banner

Iklan