Jakarta (Indonesia Window) – Pada Jumat, 10 Juli 2020 petang, adzan kembali terdengar dari Hagia Sophia (Ayasofia) setelah 85 tahun arsitektur megah itu ditetapkan menjadi museum oleh penguasa Turki Mustafa Kemal Ataturk pada 1935.
Panggilan sholat yang disambut antusias oleh masyarakat di Istanbul itu juga menegaskan dipenuhinya janji Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan untuk mengembalikan fungsi Hagia Sofia sebagai masjid.
Dia menegaskan bahwa keputusan mengembalikan Hagia Sophia sebagai tempat ibadah Umat Islam adalah hak dan kehendak bangsa Turki.
“Kami mengambil keputusan ini bukan dengan melihat siapa yang mengatakan apa, tetapi apa hak kami dan apa yang diinginkan bangsa kami,” kata Erdogan di sebuah acara pada Sabtu (11/7).
Dia memastikan bahwa setelah menyelesaikan semua persiapan, kembalinya Hagia Sophia menjadi masjid akan ditandai dengan pelaksanaan sholat Jumat pada 24 Juli 2020.
Kontraversi
Hagia Sophia adalah bagian dari Area Bersejarah Istanbul yang termasuk dalam Daftar Warisan Dunia Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan PBB (UNESCO).
Hagia Sophia yang dibangun di atas bukit berhadapan langsung dengan Laut Marmara dan Bosporus pertama kali didirikan oleh penguasa Bizantium, Kaisar Konstantinus II, pada tahun 360.
Bangunan yang terbuat dari kayu tersebut akhirnya runtuh oleh kerusuhan, dan dibangun kembali dengan bahan marmer pada 415 selama masa Theodosius II. Namun kembali hancur pada tahun 532 karena Pemberontakan Nika.
Hagia Sophia saat ini dibangun pada masa Kaisar Justinian I pada 537 sebagai gereja terbesar di masanya.
Ketika Muhammad Al-Fatih yang dikenal dengan Sultan Mehmed II membebaskan Konstantinopel pada 1453, Hagia Sophia dijadikan masjid tanpa mengubah nama dan bentuk asli bangunan.
Pemimpin Khilafah Utsmaniyyah bahkan tidak menghapus mozaik Yesus Kristus, Bunda Maria dan lainnya yang ada di langit-langit dan tembok Hagia Sophia, melainkan hanya ditutup dengan pelapis yang tidak merusak.
Minaret dan mihrab bagi imam sholat ditambahkan untuk keperluan ibadah.
Lebih dari empat abad setelah itu, presiden pertama Republik Turki Ataturk mengubah Hagia Sophia menjadi museum yang menarik berbagai pemeluk agama di dunia, hingga 3,8 juta pengunjung pada 2019.
“Hagia Sophia adalah mahakarya arsitektur dan kesaksian unik tentang interaksi antara Eropa dan Asia selama berabad-abad. Statusnya sebagai museum mencerminkan sifat universal warisannya, dan menjadikannya simbol yang kuat untuk dialog,” kata Direktur Jenderal UNESCO Audrey Azoulay.
Status tersebut membuat keputusan Erdogan dikecam berbagai pihak, termasuk pemimpin Umat Katolik dunia Paus Francis.
Menanggapi pernyataan yang bertentangan tersebut Presiden Turki menyatakan bahwa Hagia Sophia akan terbuka untuk Turki, orang asing, Muslim, dan non-Muslim seperti halnya semua masjid lainnya.
Presiden Turki mengatakan Hagia Sophia akan terus merangkul semua orang dengan status barunya sebagai masjid dengan cara yang jauh lebih tulus.
Pejabat Turki menyatakan banyak rumah ibadah terkenal, seperti Paris Notre Dame dan Masjid Biru Istanbul, juga terbuka untuk pengunjung.
“Membuka Hagia Sophia untuk beribadah tidak akan membuat wisatawan lokal atau asing tidak mengunjungi situs ini,” ujar Ibrahim Kalin, juru bicara Erdogan.
Turki adalah rumah bagi banyak agama yang dapat dengan bebas menjalankan ibadah mereka, tambahnya.
Sementara itu, kelompok pejuang Palestina Hamas menyambut baik keputusan pengadilan Turki yang membatalkan keputusan 1935, dan menetapkan Hagia Sophia sebagai masjid.
“Pembukaan Hagia Sophia untuk ibadah adalah momen yang membanggakan bagi semua Muslim,” kata Rafat Murra, Kepala Kantor Pers Internasional Hamas.
Masyarakat Mauritania juga menyambut keputusan itu dengan gembira.
Sekelompok orang di ibu kota Nouakchott mengatakan mereka mengurbankan seekor unta untuk merayakan keputusan pengadilan Turki.
Mereka mengatakan bahwa Hagia Sophia sangat penting bagi seluruh Muslim di dunia.
Laporan: Redaksi