Kebuli Pentung Abu Ali disajikan dengan lamb shank, atau paha kambing bagian atas, yang merupakan bagian paling enak, gurih, dan paling juicy.
Bogor, Jawa Barat (Indonesia Window) – Ada peribahasa ‘tuntutlah ilmu ke negeri China’. Namun bagi Mulyadi Abu Ali, peribahasa ini lebih tepatnya menjadi, ‘tuntutlah resep kebuli hingga ke negeri China’.
Perjalanan bisnisnya untuk menghadiri pameran industri di Guangzhou, salah satu kota pelabuhan penting di China bagian selatan, pada sekitar 2017, justru menjadi titik awalnya memulai usaha kuliner khas Arab yang dia namakan ‘Kebuli Pentung Abu Ali’.
“Waktu berkunjung ke Guangzhou tahun 2017, saya menginap di hotel yang lokasinya dekat dengan sebuah masjid,” tutur Mulyadi, yang juga disapa dengan nama Abu Ali, seraya menambahkan, di lingkungan tersebut tinggal banyak masyarakat Muslim yang berasal Afghanistan, Pakistan, dan lainnya.
“Setiap Jumat”, lanjutnya, “Ada hidangan paha kambing yang dimasak dengan bumbu khas Arab yang disediakan untuk jama’ah sholat Jum’at, tapi ini berbeda dengan makanan yang pernah saya rasakan waktu umroh,” ucap pria yang merupakan lulusan Institut Bisnis dan Informatika Kwik Kian Gie itu, saat dijumpai di restorannya di Bogor, Jawa Barat, pekan lalu.
Selain bumbu khas Arab yang lezat, menurutnya, potongan-potongan daging kambing yang diletakkan di atas nasi dalam hidangan di masjid di Guangzhou tersebut, sungguh menarik perhatiannya. “Melihatnya saja sudah menggugah selera,” ujarnya.
Pulang ke Tanah Air, Mulyadi tak hanya menenteng koper dan oleh-oleh dari Guangzhou, tapi juga mimpi dan tekad untuk membuka bisnis kuliner bersama sang istri.
Menu khas Arab yang dipadukan dengan cita rasa China dan Indonesia, terutama Sunda-an, menjadi andalan bisnis lelaki keturunan Tionghoa dan Melayu ini.
“Kebuli yang kami buat tidak 100 persen murni Arabian food, tapi dimodifikasi dengan rasa Chinese, dan disesuaikan dengan lidah orang Indonesia, khususnya Jawa Barat,” jelas Mulyadi, seraya menjelaskan, perpaduan tiga budaya itu terwujud dalam nasi kebuli yang sedap, disertai acar segar, dan sambal pedas khas Indonesia.
“Semua bumbu masakan kami buat sendiri. Semuanya kami pelajari sendiri dengan trial and error, sampai akhirnya menemukan bumbu yang pas,” imbuhnya.
Komposisi nasi kebuli kambing yang dibuatnya pun dibuat tidak ‘pasaran’. “Kami mengambil bagian lamb shank, atau bagian paha kambing bagian atas. Ini bagian yang paling enak, gurih, dan paling juicy, walaupun setelah dimasak lama,” urainya.
Paha atas kambing yang terlihat seperti pentung itulah yang menginspirasi Mulyadi membangun bisnis kulinernya pada 2018, dan menamai produknya ‘Kebuli Pentung Abu Ali’.
Dengan menggunakan salah satu bagian daging kambing ‘terbaik’, dia mengakui harga makanan yang ditawarkan di restorannya menyasar kalangan menengah ke atas.
“Selain daging kambing lokal, kadang-kadang kami harus menggunakan produk impor yang sudah bersertifikat halal. Ini pun juga kadang-kadang susah didapat. Makanya, harga kami di atas rata-rata kebanyakan kebuli yang sudah banyak dijual,” ungkapnya.
Walaupun dibandrol dengan harga relatif lebih tinggi dibandingkan menu kebuli pada umumnya, paduan cita rasa Arab, China, dan Indonesia membuat pangsa pasar Kebuli Pentung semakin luas, dengan tidak hanya terbatas pada pecinta makanan Arab.
“Kami sedang membuat paket nasi kebuli untuk kebutuhan konsumsi perkantoran, misalnya untuk rapat,” ujar Mulyadi.
Selain nasi kebuli kambing, restorannya juga menawarkan kebuli ayam dan sapi, serta menu kebab, burger, dan gulai.
Dengan semakin banyaknya penggemar kuliner Arab, Mulyadi kini tengah menggodok skema bisnis investasi dan kemitraan dalam upaya mengembangkan Kebuli Pentung Abu Ali.
Laporan: Redaksi