China longgarkan aturan nikah untuk dorong lebih banyak pasangan bina rumah tangga

Jumlah pengantin baru kerap kali dipandang sebagai faktor penting dalam meningkatkan angka kelahiran.
Beijing, China (Xinhua/Indonesia Window) – China telah merevisi aturan pendaftaran pernikahan, mengurangi persyaratan dokumen, dan memberikan fleksibilitas yang lebih besar kepada para pasangan untuk memilih tempat pencatatan pernikahan mereka, sebagai bagian dari upaya yang lebih luas untuk mendorong semakin banyak muda-mudi berkeluarga.
Regulasi baru tersebut, yang merupakan revisi pertama sejak ordonansi pendaftaran pernikahan diberlakukan pada 2003, akan mulai diterapkan pada 10 Mei 2025.
Di bawah aturan baru tersebut, para pasangan di China Daratan hanya akan memerlukan kartu identitas mereka dan surat pernyataan bertanda tangan yang menegaskan mereka tidak berstatus telah menikah dan tidak memiliki hubungan darah dalam tiga generasi untuk mendaftarkan pernikahan mereka. Bila berdasarkan peraturan sebelumnya, mereka juga wajib menunjukkan buku registrasi rumah tangga mereka.
Regulasi baru itu juga mencabut pembatasan terkait lokasi para pasangan dapat mendaftarkan pernikahan mereka, yang sebelumnya dibatasi pada domisili tetap mereka.
Perubahan itu diharapkan dapat menghemat waktu dan memangkas biaya, terutama bagi semakin banyak warga China yang bermukim dan bekerja jauh dari kampung halaman terdaftar mereka.
Salah satu pasangan tersebut, Nona Zhang dari Mongolia Dalam dan Tuan Wang asal Shandong, sudah bertahun-tahun bekerja di Jiangsu. Ketika mereka memutuskan untuk menikah beberapa tahun yang lalu, mereka harus pulang ke kampung halaman Wang untuk melengkapi dokumen, perjalanan yang menelan biaya hampir 2.000 yuan atau sekitar 277,5 dolar AS dan mengharuskan mereka mengambil cuti selama tiga hari.
*1 yuan = 2.305 rupiah
**1 dolar AS = 16.943 rupiah
Pengalaman yang mereka alami merupakan hal yang lumrah di bawah sistem sebelumnya. Menurut sensus nasional, hingga 2020, sebanyak 493 juta orang di China tinggal jauh dari kampung halaman terdaftar mereka. Lebih dari 70 persen dari populasi nonresiden tersebut berusia antara 15 hingga 35 tahun.
Perubahan regulasi itu muncul di tengah penurunan angka pernikahan di China. Menurut data dari Kementerian Urusan Sipil China, sebanyak 6,1 juta pasangan telah mendaftarkan pernikahan mereka pada 2024, turun dari 7,68 juta yang dicatat pada tahun sebelumnya.
Para pakar mengaitkan penurunan itu dengan menyusutnya jumlah orang yang telah memasuki usia nikah, perubahan pandangan soal hubungan, dan meningkatnya biaya yang diasosiasikan dengan membina rumah tangga.
Banyak warga dewasa muda kini memilih menunda pernikahan hingga mereka merasa siap secara finansial dan emosional, tren yang mencerminkan masyarakat yang didorong oleh pasar seperti Eropa, Amerika Utara, dan Jepang, di mana pandangan tradisional terkait pernikahan telah menjadi lebih fleksibel.
Menanggapi perubahan ini, pemerintah daerah di seluruh China telah memperkenalkan berbagai insentif untuk membangun masyarakat yang ramah terhadap pengantin baru.
Provinsi Zhejiang di China timur memperpanjang masa cuti nikah berbayar dari tiga hari menjadi 13 hari, sementara Kota Lyuliang di Provinsi Shanxi, China utara, kini menawarkan insentif senilai 1.500 yuan bagi wanita yang menikah pada atau di bawah usia 35 tahun.
Upaya-upaya itu sejalan dengan tujuan yang lebih luas, mengingat jumlah pengantin baru kerap kali dipandang sebagai faktor penting dalam meningkatkan angka kelahiran. Sebagai salah satu negara dengan jumlah penduduk terbanyak di dunia, China menghadapi berbagai tantangan demografis yang serius karena populasinya menua dengan cepat.
Menanggapi hal itu, pemerintah telah meluncurkan serangkaian kebijakan pendukung, termasuk layanan persalinan yang ditingkatkan, memperluas sistem perawatan anak, dan memberikan dukungan yang lebih besar pada bidang pendidikan, perumahan, dan ketenagakerjaan.
Laporan: Redaksi