Jakarta (Indonesia Window) – Membawa pulang kelebihan makanan usai menyantapnya di restoran berbintang atau saat selesai menggelar hajatan besar telah menjadi kebiasaan sebagian orang agar tak ada makanan yang terbuang sia-sia.
Namun, apa yang terjadi pada makanan sisa dari berbagai hotel dan restoran berbintang, supermarket dan acara-acara pribadi yang jumlahnya melimpah?
Dengan slogan “kelebihan Anda adalah kelegaan bagi yang lain”, sebuah organisasi nirlaba di Bahrain menjadi bank pangan dengan mengumpulkan kelebihan makanan dari berbagai tempat-tempat mewah tersebut dan menyalurkannya kepada para pekerja yang membutuhkan dan keluarga yang kurang mampu.
Limbah makanan di Bahrain diperkirakan lebih dari 400 ton per hari, dengan jumlah melonjak hingga 600 ton selama Ramadhan, menurut Dewan Tertinggi Untuk Lingkungan negara itu.
“Kami yakin itu bukan niat orang-orang di masyarakat kita untuk membuang makanan. Hal ini adalah bagian dari prinsip Islam kami … untuk memanfaatkan makanan berlebih, membantu orang lain, dan bersyukur atas semua anugerah,” kata CEO Conserving Bounties, Ahmed Al-Kuwait.
Namun, tambahnya, dibutuhkan inisiatif untuk menciptakan kesadaran, dan untuk menunjukkan kepada masyarakat untuk mengurangi sisa makanan serta menyumbangkan makanan yang tidak digunakan.
Dalam menjalankan misinya, Conserving Bounties telah menandatangani kontrak dengan hotel, restoran, dan toko roti guna mengumpulkan makanan dalam kondisi baik, sesuai dengan standar kesehatan dan keselamatan.
Mereka yang bekerja sama dengan bank pangan nirlaba itu adalah Intercontinental Regency, Ritz-Carlton, Four Seasons dan Sheraton, serta Lulu Hypermarket, Alosra, IKEA dan Paul Cafe.
Sejak diluncurkan pada tahun 2014, Conserving Bounties telah membagikan hampir 490.000 makanan, dan akan meningkatkan distribusi mencapai 21.000 paket makanan per bulan dalam dua tahun ke depan, kata Al-Kuwait.
“Kami memiliki saluran hotline bagi orang-orang yang memesan untuk mengumpulkan makanan dari suatu acara. Kami mengemas makanan yang layak dimakan dari prasmanan terbuka,” jelasnya.
Bank pangan
Didirikan dan dikelola oleh sekelompok dermawan, Conserving Bounties diilhami oleh Itaam, sebuah bank pangan dari Arab Saudi yang juga mendistribusikan kelebihan makanan dari hotel dan hajatan kepada mereka yang kurang mampu.
Al-Kuwaiti mengatakan bahwa meyakinkan para keluarga untuk menyumbang makanan, alih-alih mengambilnya dari hidangan acara pribadi mereka, jauh lebih mudah daripada memperolahnya hotel dan hypermarket.
“Hotel dan supermarket khawatir tentang reputasi mereka,” kata dia. “Mereka khawatir tentang keracunan makanan, atau jika ada masalah karena seseorang mengonsumsi sisa makanan.”
Untuk mengatasi masalah ini, Conserving Bounties menyediakan penafian tanpa tanggung jawab (no-responsibility disclaimer) guna memastikan bahwa mereka tidak akan bertanggung jawab.
Meski begitu, Al-Kuwaiti mengatakan, banyak pihak masih perlu dibujuk lebih lanjut dalam memanfaatkan kelebihan makanan. Karenanya Conserving Bounties melobi undang-undang baru yang bisa menetapkan bahwa gerai makanan dan supermarket di Bahrain melakukan tindakan ilegal jika membuang makanan yang belum tersentuh dan masih layak untuk dikonsumsi.
“Kami memiliki komite yang mempelajari gagasan untuk memperkenalkan undang-undang tentang limbah makanan. Kami melihat pemodelannya berdasarkan undang-undang limbah makanan Perancis. Undang-undang seperti itu akan memudahkan kita untuk menandatangani kontrak untuk mengumpulkan makanan,” tambahnya.
Di awal 2016, Perancis menjadi negara pertama di dunia yang mengeluarkan undang-undang yang melarang supermarket besar membuang makanan yang masih aman dikonsumsi.
Toko Perancis harus membuat kompos makanan yang tidak digunakan atau menyumbangkan kelebihan makanan ke badan amal seperti bank pangan.
Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO) memperkirakan bahwa etiap tahun, sekitar sepertiga dari makanan dunia hilang atau dibuang.
Saat ini, jumlah sampah tahunan dunia mencapai 1,6 miliar ton, atau senilai sekitar 1,2 triliun dolar AS makanan yang dihamburkan.
Pada saat yang sama, kelaparan telah meningkat selama tiga tahun terakhir, menurut data 2018 dari FAO.
Keadaan ini seperti satu dekade lalu, saat 821 juta orang di seluruh dunia kelaparan.
Al-Kuwaiti mengatakan negara-negara Teluk adalah di antara penghasil limbah makanan terkemuka di dunia, dan “hidangan mewah” adalah salah satu factor utama.
Di Bahrain, negara dengan populasi sekitar 1,6 juta, total limbah per tahun adalah 146.000 ton, menelan biaya sekitar 94,9 juta dinar (hampir 252 juta dolar AS atau Rp 3,6 triliun), tambahnya.
Sumber: Arabnews
Laporan: Redaksi
Di Indonesia sudah ada bank pangan seperti Conserving Bounties ga? Pengen ikutan.