Jakarta (Indonesia Window) – Harga minyak jatuh sekitar dua dolar AS per barel pada Senin menyusul meningkatnya kasus COVID-19 di Beijing, China yang merusak harapan permintaan China rebound, dan kekhawatiran tentang lebih banyak kenaikan suku bunga untuk mengendalikan inflasi yang merajalela menambah tekanan lebih lanjut.
Distrik terpadat di Beijing, Chaoyang, mengumumkan tiga putaran pengujian massal untuk memadamkan wabah COVID-19 ‘ganas, yang muncul pekan lalu. Tes massal akan berlangsung hingga Rabu (15/6).
Harga minyak mentah berjangka Brent merosot 1,86 dolar AS atau 1,5 persen, menjadi diperdagangkan di 120,15 dolar AS pada pukul 0.907 GMT.
Sementara itu, harga minyak mentah berjangka West Texas Intermediate(WTI) AS jatuh 2,15 dolar AS atau 1,8 persen, menjadi diperdagangkan di 118,52 dolar AS.
“Penurunan harga saat ini diperburuk oleh peringatan penyebaran ‘ganas’ virus COVID di Beijing oleh para pejabat, menimbulkan keraguan pada pemulihan permintaan segera,” kata Tamas Varga dari pialang minyak PVM.
Kekhawatiran tentang kenaikan suku bunga lebih lanjut, diperkuat oleh data inflasi AS pada Jumat (10/6) yang menunjukkan indeks harga konsumen AS naik 8,6 persen bulan lalu, juga mendorong minyak lebih rendah dan membebani pasar keuangan.
Data membuat pasar waspada bahwa Federal Reserve (Fed) dapat memperketat kebijakan terlalu lama dan menyebabkan perlambatan yang tajam. Keputusan kebijakan Fed berikutnya keluar pada Rabu (15/6).
Harga minyak telah melonjak pada 2022 karena invasi Rusia ke Ukraina menambah kekhawatiran pasokan dan karena permintaan minyak pulih dari penguncian COVID.
Harga Minyak Brent mencapai 139 dolar AS, tertinggi sejak 2008 pada Maret, dan kedua harga acuan minyak naik lebih dari 1,0 persen pekan lalu.
Pasokan tetap ketat, dengan OPEC dan sekutunya tidak dapat memenuhi secara penuh peningkatan produksi yang dijanjikan karena kurangnya kapasitas di banyak produsen, sanksi terhadap Rusia, dan produksi di Libya secara kasar berkurang setengahnya karena kerusuhan.
“Dinamika penawaran/permintaan tetap mendukung harga,” kata Jeffery Halley dari broker OANDA, yang melihat penjualan minyak yang diperpanjang sebagai tidak mungkin “kecuali pasar AS bergerak ke perkiraan dalam resesi besar-besaran” dan ada penguncian baru di China.
Laporan: Redaksi