Jakarta (Indonesia Window) – Para peneliti di China telah mengembangkan mesin yang dapat mendakwa orang dengan kejahatan menggunakan Artificial Intelligence (AI) atau teknoologi kecerdasan buatan, yang mereka klaim sebagai yang pertama di dunia, menurut laporan The South China Morning Post (SCMP) pada Senin (27/12).
Menurut laporan itu, mengutip sebuah makalah yang diterbitkan dalam jurnal tinjauan sejawat China Management Review, ‘jaksa’ AI dapat mengajukan tuntutan dengan akurasi lebih dari 97 persen berdasarkan deskripsi verbal dari kasus tersebut.
Kejaksaan Rakyat Pudong Shanghai, kantor kejaksaan distrik terbesar dan tersibuk di negara itu, merancang dan menguji peralatan ini.
Para peneliti dari Akademi Ilmu Pengetahuan untuk big data dan laboratorium manajemen pengetahuan mencatat bahwa teknologi tersebut dapat mengurangi beban kerja harian jaksa, memungkinkan mereka untuk fokus pada masalah yang lebih sulit.
Untuk meningkatkan kecepatan dan akurasi pemrosesan kasus, banyak jaksa di seluruh dunia telah menggunakan teknologi AI, seperti pengenalan gambar dan forensik digital. Para peneliti mengklaim bahwa mereka telah menjadi salah satu yang pertama di dunia yang menggunakan AI canggih dalam rutinitas sehari-hari karena para jaksa China mulai menggunakan AI pada 2016.
Program AI yang digunakan oleh jaksa China disebut dengan System 206. Program ini dapat menilai kekuatan bukti, kondisi penangkapan, dan risiko publik yang ditimbulkan oleh tersangka, menurut SCMP.
Namun, semua alat AI yang ada memiliki fungsi yang sempit, menurut Shi dan rekannya, karena “mereka tidak berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan untuk mengajukan tuntutan dan (menyarankan) hukuman.”
Para ilmuwan percaya bahwa membuat keputusan seperti itu akan memerlukan mesin yang mengidentifikasi dan menghilangkan konten apa pun dari file kasus yang tidak terkait dengan kejahatan sambil membiarkan informasi yang berguna tetap utuh.
Selain itu, mesin tersebut harus menerjemahkan bahasa manusia yang rumit dan selalu berubah menjadi kerangka matematika atau geometri standar yang dapat dipahami oleh komputer.
Menurut laporan itu, perusahaan teknologi China telah menciptakan teknologi pemrosesan bahasa alami, tetapi fungsinya biasanya memerlukan penggunaan komputer mainframe, yang tentu saja tidak dimiliki oleh jaksa di kantor mereka.
Komputer mainframe adalah kelas tertinggi dari komputer yang terdiri darikomputer-komputer yang mampu melakukan banyak tugas komputasi yang rumit dalam waktu singkat.
Namun, menurut para peneliti, program baru ini jauh berbeda karena bisa dijalankan di desktop PC.
Alat ini akan mengajukan tuntutan terhadap setiap tersangka berdasarkan 1.000 ‘sifat’ yang diekstraksi dari teks deskripsi kasus yang dibuat manusia, kemudian bukti akan dievaluasi oleh System 206.
Antara tahun 2015 dan 2020, sistem itu ‘dilatih’ pada lebih dari 17.000 kasus.
Sejauh ini teknologi ini telah mampu mengidentifikasi dan menuntut delapan kejahatan paling umum di Shanghai, seperti penipuan kartu kredit, menjalankan perusahaan perjudian, mengemudi secara sembrono, cedera yang disengaja, menghalangi tugas resmi, pencurian, penipuan, dan ‘memilih pertengkaran dan memprovokasi masalah’, yang merupakan tuduhan umum yang sering digunakan untuk meredam oposisi, menurut laporan tersebut.
Menurut para peneliti, kemampuan ‘jaksa’ AI akan segera ditingkatkan sehingga mampu mengidentifikasi kejahatan yang kurang umum dan mengajukan beberapa tuduhan terhadap satu individu.
Namun, masih belum jelas kapan atau apakah pengetahuan ini akan diterapkan di bidang lain, selain penegakan hukum.
Sementara itu, seorang jaksa yang tidak disebutkan namanya di Guangzhou, kota paling selatan China, menyatakan keberatan tentang penggunaan AI untuk mengajukan tuntutan secara otomatis.
“Akurasi 97 persen mungkin tinggi dari sudut pandang teknologi, tetapi akan selalu ada kemungkinan kesalahan,” klaim sumber yang dirahasiakan itu. “Siapa yang akan bertanggung jawab ketika itu terjadi? Jaksa, mesin atau perancang algoritma?”
Otonomi seorang jaksa manusia, terutama dalam pengambilan keputusan, dapat dirugikan jika AI terlibat langsung dalam proses rumit seperti itu, kata jaksa kepada SCMP.
Menurut sumber itu, sebagian besar jaksa tidak ingin ilmuwan komputer “mencampuri” keputusan hukum.
Masalah lain yang dilaporkan adalah bahwa jaksa AI dapat mengajukan kasus hanya berdasarkan keahlian sebelumnya, dan dalam iklim sosial yang berubah, ia tidak dapat memprediksi bagaimana publik akan bereaksi terhadap sebuah kasus atau hukuman.
“AI dapat membantu mendeteksi kesalahan, tetapi tidak dapat menggantikan manusia dalam mengambil keputusan,” katanya.
Namun, SCMP menyatakan bahwa China secara agresif menerapkan kecerdasan buatan di hampir setiap area pemerintahan dalam upaya meningkatkan efisiensi, mengurangi korupsi, dan memperkuat kendali.
Menurut laporan, beberapa kota di China telah memanfaatkan teknologi untuk memantau lingkaran dan aktivitas sosial pegawai pemerintah guna mengungkap korupsi.
AI telah digunakan oleh banyak pengadilan Tiongkok untuk membantu hakim dalam memproses berkas kasus dan membuat keputusan, seperti apakah akan menerima atau menolak banding.
Mayoritas penjara di China juga telah menerapkan teknologi AI untuk melacak kesejahteraan fisik dan mental narapidana guna mengurangi kekerasan.
Laporan: Redaksi