Banner

Fokus Berita – WHO sebut situasi kemanusiaan dan kesehatan di Gaza “sangat buruk”

Seorang dokter memeriksa kondisi seorang anak laki-laki di sebuah klinik sementara di Kota Rafah, Jalur Gaza selatan, pada 8 Januari 2024. (Xinhua/Rizek Abdeljawad)

Bencana kemanusiaan dan kesehatan di Jalur Gaza sangat buruk karena ruang kemanusiaan dan akses mendapatkan layanan kesehatan makin berkurang.

 

Jenewa, Swiss (Xinhua) – Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada Selasa (9/1) memperingatkan soal bencana kemanusiaan dan kesehatan di Jalur Gaza karena ruang kemanusiaan dan akses mendapatkan layanan kesehatan makin berkurang.

Berbicara dalam taklimat pekanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melalui tautan video dari Gaza, Koordinator Tim Medis Darurat WHO Sean Casey menyoroti situasi yang “sangat buruk” di seluruh Jalur Gaza. Sistem kesehatan kolaps dengan cepat, dan intensitas konflik tak pernah mereda selama beberapa pekan terakhir, paparnya.

“Rumah-rumah sakit ditutup, para pasien tidak memiliki akses fasilitas kesehatan, tenaga kesehatan terpaksa mengungsi demi keselamatan diri mereka,” kata Casey.

Pertikaian berdarah makin intensif di wilayah tengah dan selatan, sehingga rumah-rumah sakit yang masih buka makin mengalami kelebihan beban.

Banner
Bencana kemanusiaan dan kesehatan
Seorang pria yang terluka dilarikan ke sebuah rumah sakit di Kota Khan Younis, Jalur Gaza selatan, pada 5 Januari 2024. (Xinhua/Yasser Qudih)

Eksodus tenaga kesehatan

Tiga rumah sakit terpenting di wilayah tersebut, yakni European Gaza Hospital, Nasser Medical Complex, dan Al-Aqsa, menjadi penentu hidup bagi Gaza selatan yang saat ini berpenduduk lebih dari dua juta orang, tutur Richard Peeperkorn, perwakilan WHO di wilayah Palestina yang diduduki.

Rumah sakit Al-Aqsa kehilangan 70 persen stafnya, yang mengungsi bersama keluarga mereka demi alasan keselamatan, begitu pula di Nasser Medical Complex, salah satu pusat kesehatan terakhir yang masih beroperasi. Dengan banyaknya staf medis yang memilih mengungsi, membuat rumah sakit tidak dapat berfungsi.

Ribuan pasien meninggalkan Al-Aqsa dan pergi ke rumah sakit lain yang sudah hampir kolaps. Mereka hanya berpindah dari satu situasi buruk ke situasi buruk lainnya, karena tidak ada tempat yang aman di Gaza, tutur Casey.

Dibandingkan dengan 3.500 ranjang rumah sakit yang tersedia sebelum konflik, Gaza kini hanya memiliki sekitar 1.400 ranjang, padahal situasi saat ini memerlukan setidaknya 5.000 ranjang, kata Peeperkorn.

Orang-orang mendoakan warga Palestina yang telah meninggal di pemakaman Rumah Sakit Al-Shifa di Gaza City pada 31 Desember 2023. (Xinhua/Mohammed Ali)

Berkurangnya akses mendapatkan layanan kesehatan

Banner

Konflik ini telah menyebabkan 1,9 juta orang, atau setara dengan 85 persen populasi Gaza, terpaksa mengungsi, serta menyebabkan warga sipil di wilayah Palestina yang terkepung menghadapi risiko kelaparan dan penyakit, menurut PBB.

WHO, bersama dengan Badan Bantuan dan Pekerjaan PBB untuk Pengungsi Palestina (UNRWA), berupaya mengevaluasi tingkat penyakit menular di wilayah tersebut dan mengatakan bahwa lebih dari 81.000 kasus diare telah tercatat, naik dari 2.000 kasus saat situasi normal.

Resolusi yang diadopsi oleh Dewan Eksekutif WHO bulan lalu menyerukan bantuan kemanusiaan yang segera, berkelanjutan, dan tanpa hambatan di Gaza, tetapi akses kemanusiaan menjadi semakin terbatas. Setiap hari, pengiriman bantuan ke Gaza ditolak, ujar Peeperkorn.

Para pengungsi Palestina menyiapkan makanan di sebuah tempat penampungan sementara di Kota Rafah, Jalur Gaza selatan, pada 18 Desember 2023. (Xinhua/Rizek Abdeljawad)

WHO tidak diberi akses untuk masuk ke Gaza utara selama dua pekan dan terpaksa membatalkan enam misi yang telah direncanakan. Tim tersebut sudah siap menyalurkan bantuan, tetapi tidak mendapatkan izin yang diperlukan.

“Setiap hari konvoi kami mengantre, menunggu izin, dan tidak mendapatkannya,” tutur Casey. “Dan kemudian kami kembali dan melakukannya lagi keesokan harinya.”

Berbicara tentang anak-anak yang anggota tubuhnya terpaksa diamputasi, Casey menuturkan bahwa amputasi tersebut terjadi karena terbatasnya akses untuk mendapatkan perawatan dan kurangnya sumber daya di rumah sakit.

Banner

Isu lain adalah kurangnya ahli bedah dan ruang operasi. Peeperkorn mengatakan bahwa akibat sumber daya yang terbatas, staf medis terus-menerus harus membuat pilihan sulit, termasuk melakukan amputasi yang seharusnya tidak perlu namun harus dilakukan demi menyelamatkan nyawa sebanyak mungkin.

Laporan: Redaksi

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Banner

Iklan