Akar dari kemerosotan ekonomi Yaman sangat mendalam, dengan lebih dari 1,2 juta pegawai negeri sipil belum menerima gaji selama delapan tahun, dan ratusan ribu lainnya kehilangan pekerjaan.
Sanaa, Yaman (Xinhua) – Di saat umat Muslim di seluruh dunia merayakan Idul Adha yang penuh sukacita, suasana suram menyelimuti Sanaa, ibu kota Yaman.
Dilanda perang saudara selama hampir satu dasawarsa, Yaman kini menghadapi tantangan baru, yaitu tekanan tambahan akibat eskalasi krisis di Laut Merah terhadap ekonomi negara tersebut yang telah lumpuh.
Di Kota Tua Sanaa, Pasar Al-Melh yang tersohor dahulu terkenal dengan lorong-lorongnya yang rumit yang dipenuhi dengan berbagai jenis barang khas Idul Adha yang terjangkau dan menarik, mulai dari pakaian warna-warni hingga nampan-nampan yang berisi kudapan manis.
Namun tahun ini, dengan semakin dekatnya salah satu hari raya terpenting bagi umat Muslim, pasar tersebut tampak lebih sepi daripada waktu subuh saat orang-orang menunaikan ibadah.
“Ini seperti kota hantu,” keluh Qasim Abu Arabi, seorang penjual manisan di Al-Melh. “Penjualan turun 80 persen tahun ini. Dahulu, orang-orang datang ke sini dengan rencana besar untuk Idul Adha, membeli manisan untuk seluruh keluarga. Kini, mereka hanya membeli sedikit.”
Abu Arabi menunjuk pada pajangan kue kering dan cokelat yang melimpah, sangat berbanding terbalik dengan hiruk-pikuk pembelian menjelang Idul Adha pada tahun-tahun sebelumnya. Dia menjelaskan bahwa kenaikan biaya pengiriman jalur laut baru-baru ini telah meningkatkan harga grosir, dan memaksanya untuk menaikkan harga jual.
Pengalaman Abu Arabi mencerminkan krisis ekonomi yang lebih luas yang melanda Yaman. Melonjaknya biaya pengiriman melalui laut telah menaikkan harga-harga di seluruh negara itu, bahkan membuat kebutuhan pokok Idul Adha menjadi barang mewah bagi banyak orang.
“Semuanya terlalu mahal,” ujar Um Khalid, seorang pembeli yang sedang melihat-lihat di pasar itu. “Dahulu, Idul Adha merupakan waktu bagi keluarga untuk berkumpul dan merayakannya, namun sekarang terasa seperti beban.”
Penderitaan para pemilik toko di Sanaa tidak hanya terjadi di Al-Melh. Di toko-toko lain, rak-rak penuh dengan permen yang tidak terjual dan dekorasi yang tidak laku. Semangat perayaan tampaknya telah meredup di bawah beban kesulitan ekonomi.
Dalam upaya untuk meringankan beban keuangan, sebuah pameran untuk ‘keluarga produktif’ digelar di Taman al-Sabeen di kota itu. Di sana, para keluarga memamerkan dan menjual barang-barang buatan mereka, menawarkan secercah harapan dan kesempatan untuk mencari nafkah sebelum liburan Idul Adha.
“Saya menemukan banyak barang bagus di sini, seperti pakaian, permen, dan kerajinan tangan,” kata Muhsen Aatef, seorang pengunjung pameran itu. “Ini adalah cara yang baik untuk membantu keluarga lokal dan menemukan barang-barang Idul Adha dengan harga yang lebih murah.”
Namun, inisiatif seperti itu hanya dapat memberikan sedikit bantuan. Akar dari kemerosotan ekonomi Yaman sangat mendalam. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menggambarkan kondisi yang suram itu dengan mengatakan bahwa satu dasawarsa perang telah mendorong jutaan orang jatuh ke dalam kemiskinan. Lebih dari 1,2 juta pegawai negeri sipil belum menerima gaji selama delapan tahun, dan ratusan ribu lainnya kehilangan pekerjaan.
“Empat dari lima orang Yaman menghadapi kemiskinan, dan separuh dari populasi negara itu – atau lebih dari 18 juta orang – sangat membutuhkan bantuan kemanusiaan,” menurut laporan terbaru dari Dewan Pengungsi Norwegia.
“Idul Adha seharusnya menjadi momen bahagia semanis permen yang saya jual,” ujar Abu Arabi dengan sedih di dalam tokonya yang kosong. “Tetapi, saya rasa tidak ada permen di dunia ini yang dapat mempermanis kehidupan di sini saat ini.”
Laporan: Redaksi