Pajak Seksi 232 AS berlaku terhadap produk baja dan aluminium impor, bertujuan untuk melindungi industri dalam negerinya dengan dalih keamanan nasional.
Pada Maret 2018, AS mulai memberlakukan pajak Seksi 232 terhadap produk baja dan aluminium untuk melindungi industri dalam negerinya dengan dalih keamanan nasional.
Mengingat Washington telah membebaskan 70 persen impor bajanya dari pajak tambahan, impor yang dibatasi tersebut hanya mencakup 5 persen dari konsumsi baja AS, dengan penggunaan sektor pertahanan hanya mencakup sekitar 0,15 persen, ujar Li dalam pertemuan tersebut.
“Dengan kata lain, langkah-langkah dalam Seksi 232 bersifat sangat proteksionis karena kontribusinya terhadap keamanan nasional sama sekali tidak signifikan,” kata Duta Besar China untuk WTO Li Chenggang dalam pertemuan DSB.
Sejak awal, AS memberlakukan pajak-pajak tambahan tersebut sebagai instrumen koersi ekonomi, menggunakannya untuk memaksa anggota lain masuk ke skema kuota atau membuat konsesi untuk AS dalam negosiasi perdagangan, menurut duta besar China itu.
Langkah-langkah tersebut telah ditentang secara luas, digugat oleh beberapa anggota WTO dan dianggap tidak konsisten dengan aturan WTO oleh semua panel. Temuan panel itu dalam sengketa ini kembali menunjukkan bahwa pengecualian keamanan bukanlah “tempat perlindungan” bagi unilateralisme atau proteksionisme, tambah Li.
Dalam Tinjauan Kebijakan Perdagangan AS ke-15 yang diadakan pada Desember 2022, Duta Besar Turkiye untuk WTO Alparslan Acarsoy mengatakan bahwa AS memberlakukan tarif tambahan terhadap produk aluminium dan baja impor, yang jelas melanggar aturan WTO.
Dia mendesak AS untuk membatalkan langkah-langkah pajak tambahan itu guna menghindari kerusakan lebih lanjut pada sistem perdagangan multilateral.
Turkiye yakin bahwa AS secara sistematis dan struktural merusak kepercayaan para anggota dalam sistem perdagangan multilateral, imbuhnya.
“Sebelum panel tersebut, AS mengandalkan laporan Seksi 232 yang menjadi dasar tindakannya untuk berargumen bahwa kelebihan kapasitas baja di seluruh dunia dapat merusak sektor baja domestik AS sehingga negara itu tidak akan dapat meningkatkan atau mempertahankan produksi baja yang dibutuhkan untuk mengatasi keadaan darurat nasional,” kata Jayant Raghu Ram, seorang penulis di firma hukum India Lakshmikumaran & Sridharan Attorneys, dalam sebuah artikel terbaru. “Kelebihan kapasitas ini, menurut AS, merupakan sebuah ‘keadaan darurat dalam hubungan internasional.'”
“Namun, panel itu hanya memberikan penjelasan singkat dalam meruntuhkan pembelaan lemah AS tersebut dan menyatakan bahwa situasi kelebihan kapasitas baja global” bukanlah “‘keadaan darurat dalam hubungan internasional,'” ujar Ram.
Pada 11 Agustus 2020, AS mewajibkan produk-produk Hong Kong yang diekspor ke AS untuk diberi label ‘Made in China’, yang pada akhir Desember 2022 diputuskan oleh WTO telah melanggar kewajiban negara tersebut di bawah aturan organisasi perdagangan dunia itu.
Pemerintah Daerah Administratif Khusus (Special Administrative Region/SAR) Hong Kong menyambut baik putusan tersebut.
Keputusan itu kembali mengonfirmasi bahwa AS telah mengabaikan aturan perdagangan internasional, berusaha untuk memberlakukan persyaratan yang diskriminatif dan tidak adil secara sepihak, menekan produk dan perusahaan Hong Kong secara tidak masuk akal, serta memolitisasi isu-isu ekonomi dan perdagangan, ujar Algernon Yau, sekretaris perdagangan dan pembangunan ekonomi pemerintah SAR Hong Kong, dalam pernyataannya.
“Ketika Presiden Biden dari Partai Demokrat yang lebih tidak konservatif terpilih untuk berkuasa pada 2020, pemerintah AS diperkirakan akan mengurangi retorika nihilismenya terhadap sistem perdagangan multilateral dan mencabut tindakan yang tampaknya melanggar peraturan WTO, terutama langkah-langkah Seksi 232,” tambah Ram.
“Namun, terlepas dari perubahan pemerintahan itu, AS terus mempertahankan status quo sehubungan dengan langkah-langkah tersebut,” katanya.
“Meskipun sikap meremehkan AS terhadap supremasi hukum dalam sistem berbasis aturan WTO sudah diketahui dan tidak mengejutkan, para anggota WTO dapat menemukan kelegaan dalam fakta bahwa panel itu secara terang-terangan menganggap langkah-langkah tersebut tidak sejalan dengan peraturan WTO,” menurut Ram.
Laporan: Redaksi