Jakarta (Indonesia Window) – Seorang anggota parlemen Taiwan telah menyerukan penyelidikan terhadap proyek konstruksi bersama Taiwan-Indonesia di MRT Sanying baru, atau Jalur Biru Muda, di tengah tuduhan bahwa pekerja asing dibayar sedikitnya 10.000 dolar Taiwan (sekitar 5,1 juta rupiah) per bulan.
Legislator dari Partai Kekuatan Baru, Chiu Hsien-chih, mengadakan konferensi pers pada Jumat (13/8) dengan Asosiasi Pekerja Internasional Taiwan (TIWA), yang mengatakan telah menerima keluhan dari beberapa pekerja di proyek tersebut pada Ahad lalu, menurut Kantor Berita CNA.
Mereka meminta Kementerian Tenaga Kerja untuk menyelidiki tuduhan pekerja terhadap eksploitasi upah oleh dua perusahaan yang memimpin proyek tersebut, RSEA Engineering Corp Taiwan dan BUMN Indonesia bidang konstruksi Wijaya Karya.
Menurut pengaduan, kata Chiu, pekerja di proyek tersebut menerima gaji pokok setara dengan 9.677 dolar Taiwan (sekira 4,9 juta rupiah), yang disetorkan langsung ke rekening bank mereka di Indonesia dalam rupiah.
Selain gaji pokok mereka, para pekerja bekerja lembur hingga 176 jam setiap bulan, di mana mereka hanya dibayar 47 dolar Taiwan (sekitar 24.263 rupiah) per jam, kata Chiu, menyebut situasi itu “mengerikan dan tidak manusiawi.”
Seorang pekerja migran Indonesia, yang menolak disebutkan namanya, mengatakan bahwa dia menerima gaji pokok bulanan sebesar 4,5 juta rupiah (kurang dari 10.000 dolar Taiwan), serta pembayaran bulanan sebesar 2.000-4.000 dolar Taiwan (sekitar 1,03 – 1,2 juta rupiah) untuk menutupi biaya hidupnya di Taiwan.
Dia mengatakan bahwa sementara dia ingin terus bekerja di Taiwan, dia ingin mendapatkan setidaknya upah minimum dan menikmati perlindungan tenaga kerja dasar di bawah hukum Taiwan.
Presiden TIWA Chen Su-hsiang, yang kelompoknya telah menangani pengaduan tersebut, mengatakan bahwa 133 pekerja Indonesia yang dipekerjakan untuk proyek tersebut telah diminta untuk menandatangani dua kontrak, yakni satu dengan RSEA dan satu dengan Wijaya Karya.
Kedua kontrak tersebut menjanjikan tingkat upah yang ‘sangat’ berbeda, menurut Chen, meskipun apa yang sebenarnya mereka peroleh tampaknya didasarkan pada undang-undang perburuhan Indonesia.
Para pekerja merasa mereka tidak punya tempat untuk menyelesaikan masalah gaji mereka, sehingga beberapa orang meninggalkan pekerjaan, katanya.
Sementara itu, perwakilan TIWA Hsu Chun-huai mendesak kementerian untuk melihat perbedaan antara jaminan kontrak pekerja dan gaji mereka yang sebenarnya, dan mencari tahu ke mana uang itu disetorkan.
Ketika dimintai tanggapan, Badan Pengembangan Tenaga Kerja Kementerian Tenaga Kerja mengatakan pihaknya mengetahui keluhan tersebut, dan telah meminta pemerintah Kota New Taipei untuk menyelidiki masalah tersebut.
Sementara itu, Departemen Sistem Transit Cepat New Taipei mengonfirmasi pada hari Jumat (13/8) bahwa RSEA bekerja untuknya sebagai kontraktor dan telah mempekerjakan para pekerja melalui jalur hukum.
Namun, berdasarkan tanggapan pekerja Indonesia pada proyek tersebut, perselisihan saat ini berasal dari kegagalan untuk menyediakan kondisi kerja yang memadai, sebut departemen tersebut.
Departemen telah meminta RSEA untuk menyelesaikan konflik dengan “memastikan bahwa mereka telah memenuhi kewajibannya sebagai pemberi kerja dan tidak melanggar hak-hak pekerja,” tambahnya, meskipun tidak mengatakan bagaimana rencananya untuk menegakkan tuntutan tersebut.
MRT Sanying Line, yang diharapkan dibuka pada 2023, akan beroperasi dari Stasiun Dingpu di Jalur Biru ke distrik Sanxia dan Yingge di New Taipei, dan akan diperluas ke Distrik Badu di Kota Taoyuan.
Laporan: Redaksi