Upaya pengendalian tembakau di Indonesia masih lemah, dengan belum adanya regulasi yang mengikat penayangan iklan-iklan rokok di platform-platoform internet.
Bogor, Jawa Barat (Indonesia Window) – Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi, menilai upaya pengendalian tembakau di Indonesia masih lemah.
“Tantangan dalam pengendalian tembakau di Indonesia ini sangat berat, termasuk paradigma masyarakat yang secara logis menganggap tembakau sebagai produk normal, padahal itu produk abnormal. Di Singapura, masyarakatnya menganggap rokok itu sebagai sebuah penyakit,” ujar Tulus dalam diskusi publik ‘OUTLOOK Industri Tembakau Indonesia 2024’ di Jakarta, Selasa (30/1).
“Musuh pengendalian tembakau banyak, termasuk pemerintah dan DPR sendiri,” tegasnya, seraya menambahkan, upaya pengendalian tembakau di Tanah Air memerlukan keterlibatan semua pihak untuk mendorong pemerintah melakukan penguatan pengendalian tembakau dalam berbagai kebijakan.
Dia juga menyoroti iklan rokok di platform-platform internet yang belum terikat regulasi. Tulus mendukung pelarangan total iklan dan promosi rokok sebagai salah satu arah kebijakan pembangunan nasional. “Mudah-mudahan di PP kesehatan yang baru, iklan rokok di internet akan dilarang, kalau tidak diitervensi lagi,” pungkasnya.
Sementara itu, praktisi media Maria Hartiningsih mengatakan, diperlukan penelitian dan pengkajian lebih dalam soal fenomena tembakau iris atau merokok dengan melinting rokok sendiri, atau lebih populer sebagai ‘tingwe’ atau nglinthing dhewe (Bahasa Jawa, artinya melinting sendiri), semakin marak belakangan ini.
“Selain itu, saat ini semakin mudah kita menemui anak muda yang menggunakan rokok elektrik atau vape, dan ini harus menjadi perhatian kita,” ujarnya.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) baru-baru ini mendesak negara-negara di dunia untuk menerbitkan aturan yang melarang rokok elektrik atau vape aneka rasa. Seruan WHO tersebut berdasarkan sejumlah penelitian bahwa tidak ada bukti rokok elektrik bisa menjadi alternatif lebih sehat dari mengisap rokok tembakau.
Selain itu, WHO juga menyoroti peredaran vape di pasar terbuka dan dijual secara masif kepada generasi muda dengan menyinggung 34 negara telah melarang penjualan rokok elektronik, 88 negara tidak menetapkan usia minimum untuk pembelian rokok elektrik, dan 74 negara tidak memiliki aturan terkait produk-produk tersebut.
Adviser IISD Dra. Tien Sapartinah meminta agar negara bertanggung jawab dalam mengendalikan tembakau. “Jadi pemerintah tidak boleh lepas tangggung jawab terhadap isu pengendalian tembakau ini,” katanya.
Dia juga mengharapkan pemimpin yang akan datang berkomitmen dalam menguatkan pengendalian tembakau, didasarkan pada keberpihakan kepada masyarakat.
Sehubungan dengan hal tersebut, Direktur Program Indonesia Institute for Social Development (IISD) Ahmad Fanani menyampaikan, hasil pendalaman yang dipublikasikan dalam ‘Outlook Industri Tembakau 2024’ merupakan bentuk nyata dalam memberikan bahan kajian terbaru dalam isu pengendalian tembakau.
“Diharapkan hasil kajian dan pendalaman ini memberikan argumentasi baru secara objektif dan menjadi alasan kuat bagi penguatan kebijakan pengendalian tembakau di Indonesia,” katanya.
Diskusi publik tersebut juga mendesak perlunya aksesi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC), di mana untuk sekian lama pemerintah telah tunduk kepada intervensi industri yang selalu menjadikan kehidupan petani dan pekerja industri sebagai bumper kepentingan industri.
FCTC memungkinkan perlindungan bagi kesehatan masyarakat, melalui pengendalian permintaan, harga dan cukai, kemasan dan pelabelan, iklan atau promosi dan sponsor rokok, serta perlindungan dari asap. Selain pengendalian permintaan, perlu juga dilakukan pengendalian penawaran, termasuk upaya melarang penjualan rokok pada anak di bawah umur.
Laporan: Redaksi