Pemetaan 3D tomografi ionosfer tingkatkan akurasi GPS

Foto yang diabadikan pada 11 Mei 2024 ini menunjukkan aurora borealis yang muncul di langit pinggiran kota di London, Inggris. (Xinhua/Stephen Chung)

Studi ionosfer tidak hanya penting untuk aplikasi navigasi dan komunikasi, tetapi juga dapat memberikan informasi tambahan untuk mitigasi bencana gempa dan tsunami.

 

Bogor, Jawa Barat (Indonesia Window) – Global Positioning System (GPS) adalah sistem navigasi berbasis satelit yang memungkinkan penentuan lokasi geografis dengan akurasi tinggi di hampir semua tempat di Bumi.

Kepala Pusat Riset Iklim dan Atmosfer (PRIMA), Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Albertus Sulaiman, menjelaskan bahwa sinyal GPS melewati beberapa lapisan ionosfer sebelum diterima oleh penerima (receiver). Oleh karena itu, pemahaman mendalam tentang ionosfer dan ketidakteraturan di dalamnya sangat penting.

“Metode 3D Tomography of Ionospheric Irregularities merupakan metode revolusioner yang memungkinkan kita untuk melihat dan menganalisis struktur serta dinamika ionosfer,” kata Sulaiman dalam kolokium ‘3D Tomography of Ionospheric Irregularities’ di Bandung, Kamis (25/7), dikutip dari laman BRIN, Rabu.

Pada kesempatan yang sama, peneliti PRIMA BRIN, Ihsan Naufal Muafiry, menegaskan bahwa dengan memahami dan memprediksi dinamika densitas elektron di ionosfer, kesalahan dalam penentuan posisi GPS dapat dikurangi sehingga akan meningkatkan akurasi.

Ihsan merinci, sinar ultraviolet dari matahari mengionisasi molekul netral di atmosfer bagian atas dan menciptakan elektron di lapisan ionosfer yang berada sekitar 70-1.000 km dari permukaan Bumi. Sinyal GPS yang melewati lapisan ini sebelum mencapai penerima di Bumi berpotensi menyebabkan kesalahan.

“Saat ini, banyak penelitian telah dilakukan oleh peneliti ionosfer untuk memetakan densitas elektron di suatu wilayah menggunakan data beda fase sinyal GPS,” tambah Ihsan.

Dengan menggunakan beda fase dua sinyal GPS, lanjut Ihsan, kita dapat mengukur densitas elektron sepanjang lintasan sinyal, yang dikenal sebagai Slant Total Electron Content (STEC).

“STEC juga dapat diaplikasikan pada teknik pemetaan ionosfer secara 3D, seperti tomografi 3D, sehingga memberikan pengetahuan terkait densitas elektron di setiap ketinggian lapisan ionosfer,” jelas Ihsan.

Metode pencitraan tomografi untuk lapisan ionosfer sudah ada sejak tahun 1988. Dengan bertambahnya jumlah satelit navigasi dan receiver di permukaan saat ini, peluang untuk memahami ionosfer dengan lebih detail semakin terbuka.

“Di Jepang dan Selandia Baru, jaringan receiver GPS yang merekam sinyal GPS secara terus menerus disebut GEONET, dengan resolusi vertikal tomografi 3D sekitar 30 km,” ungkap Ihsan.

Jaringan GNSS atau Global Navigation Satellite System sebagai receiver milik BRIN dan EOS serta Ina-CORS memiliki potensi untuk membuat peta tomografi 3D ionosfer, yang berguna untuk investigasi iregularitas ionosfer seperti Equatorial Plasma Bubble (EPB).

“Studi ionosfer tidak hanya penting untuk aplikasi navigasi dan komunikasi, tetapi juga berpotensi memberikan informasi tambahan untuk mitigasi bencana gempa dan tsunami,” tambah Ihsan.

Laporan: Redaksi

Tinggalkan Komentar

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Iklan