Prangko tunjukkan vitalitas di tengah tantangan zaman

“Vitalitas prangko mencatat identitas suatu bangsa, bisa juga menjadi objek investasi, (dan) harganya bisa mencapai puluhan miliar rupiah.”
Jakarta (Indonesia Window) – Sejak mendapatkan vitalitas prangko berperekat pertama di dunia, Penny Black, pada 2002 lalu, Arianto Januar, yang tinggal di Jakarta, merasa dirinya adalah orang yang paling bahagia.
Prangko hitam-putih dengan gambar Ratu Victoria yang dikeluarkan oleh pemerintah Inggris pada 1840 itu merupakan impian setiap filatelis (orang yang mempelajari atau mengoleksi prangko dan benda-benda terkait). Kala itu, prangko tersebut tengah diperebutkan dalam lelang daring, dan Januar berhasil memenangkannya setelah berkali-kali menaikkan penawarannya.
Meski tabungan selama bertahun-tahun harus dia kuras demi selembar kertas kecil itu, Januar tidak keberatan.
“Ini passion saya. Tidak semua orang bisa memiliki koleksi seperti yang saya miliki,” ujar Januar, yang telah menjadi filatelis sejak usia empat tahun dan memiliki koleksi jutaan prangko, kepada Xinhua baru-baru ini.
Terkadang anggota Komunitas Kolektor Prangko Indonesia itu harus terbang ke berbagai negara, mengunjungi pameran internasional, atau mengantre selama berjam-jam, demi mendapatkan koleksi baru yang diidamkannya.
Sementara itu, Resti Damayanti, remaja berusia 15 tahun yang tidak mengalami sendiri masa kejayaan filateli, mengaku awalnya dia heran mengapa orang rela mengorbankan segalanya demi mendapatkan selembar prangko, termasuk mendiang ayahnya.

Keheranannya itu mendorongnya untuk mengunjungi acara World Stamp Championship & Exhibition Indonesia 2022 di Jakarta, yang memamerkan ribuan prangko milik ratusan filatelis dari 61 negara mulai 2 hingga 9 Agustus lalu.
Dia berjalan melewati stan demi stan, mengamati prangko yang dipajang di sana, dan mendapatkan banyak wawasan baru.
“Kita bisa mendapatkan pengetahuan baru dari sebuah prangko, termasuk fakta sejarah bahwa dahulu orang harus menempuh perjalanan laut selama enam jam dari Medan ke Singapura. Sekarang, dengan pesawat kita hanya membutuhkan waktu yang jauh lebih singkat,” ungkap Damayanti.

Dahulu, prangko ditempelkan pada amplop, kartu pos, atau benda pos lainnya sebagai bukti pembayaran ongkos kirim, namun sudah jarang digunakan lagi sejak era digital, meski tidak hilang sama sekali, kata Ketua Perkumpulan Filatelis Indonesia Fadli Zon.
Filatelis di seluruh dunia hingga saat ini masih berkumpul, berdiskusi, dan berburu prangko untuk memperkaya koleksi mereka. Sementara itu, masih banyak pula lembaga yang rutin menerbitkan edisi terbarunya.
Fadli Zon, yang memiliki koleksi prangko yang sudah tak terhitung jumlahnya di perpustakaan pribadinya di Jakarta, masih menunggu keberuntungan untuk membawa pulang prangko militer Surakarta, yang hanya diterbitkan 40 lembar dalam kondisi darurat selama perjuangan Indonesia mempertahankan kemerdekaan pada 1949 silam. Kini, prangko tersebut bernilai miliaran rupiah.
Saat ini, prangko menjadi penanda sejarah suatu bangsa dan jembatan diplomasi antarnegara. “Prangko mencatat identitas suatu bangsa, bisa juga menjadi objek investasi, (dan) harganya bisa mencapai puluhan miliar rupiah,” ujar Fadli Zon.
Meski membatasi penggunaan prangko, era digital juga memudahkan para filatelis untuk berburu dan mendapatkan koleksi baru melalui penjualan daring, imbuhnya.
Kemampuan prangko untuk bertahan tampaknya juga tidak akan sirna, mengingat beberapa negara telah mengeluarkan berbagai prangko digital, yaitu prangko fisik dengan sentuhan digital seperti fitur kode batang (barcode), serta prangko kripto dan prangko non-fungible token (NFT).
Penulis: Hayati Nupus
Sumber: Xinhua
Laporan: Redaksi