Prigen Conservation Breeding Ark pulihkan burung berkicau endemik Indonesia terancam punah
Populasi burung berkicau endemik Indonesia, terutama di Pulau Jawa, merosot tajam akibat perburuan dan perdagangan.
Pasuruan, Jawa Timur (Indonesia Window) — Praktik perlombaan burung berkicau yang sempat marak di berbagai daerah Indonesia telah meninggalkan masalah serius terhadap kelestarian satwa. Populasi burung berkicau endemik Indonesia, terutama di Pulau Jawa, merosot tajam akibat perburuan dan perdagangan.
Namun, upaya pemulihan satwa terancam punah tersebut dinilai masih sangat mungkin dilakukan.
Hal itu disampaikan Komisaris PT Taman Safari Indonesia (TSI), Tony Sumampau, dalam acara Media Trip FOKSI (Forum Konservasi Satwaliar Indonesia) ke Prigen Conservation Breeding Ark (PCBA) Prigen, Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur, pada Kamis (18/12).
“Perlombaan burung dulu sangat marak, sekarang mulai berkurang perlahan. Tapi dampaknya sudah terasa, populasi burung turun drastis,” ujar Tony, seraya menekankan pentingnya edukasi agar kaum muda tidak mengulangi kesalahan yang sama seperti yang dilakukan generasi sebelumnya.
Menurut Tony, krisis burung berkicau di Asia Tenggara menjadi perhatian internasional, bahkan dibahas hingga di Singapura dalam Konferensi Tingkat Tinggi the Southeast Asian Songbird Crisis pada 2015 dan 2017.
Dalam acara tersebut, lanjutnya, Indonesia disebut sebagai salah satu negara yang mengalami penurunan populasi burung berkicau paling besar di dunia, dipicu oleh perilaku perburuan yang masif.
Di tengah krisis tersebut, PCBA mengambil peran aktif melalui penangkaran dan pelepasliaran.
“Di PCBA Prigen saat ini terdapat 255 kandang burung untuk konservasi, ditambah lebih dari 50 kandang di Taman Safari Bogor. Ini menunjukkan Indonesia tidak kalah dalam upaya menangkar, meningkatkan populasi, lalu melepasliarkan kembali burung ke alam,” urai Tony.

Sejumlah spesies burung berkicau telah dilepasliarkan di berbagai lokasi. Di Bogor, Taman Safari Indonesia (TSI) melepasliarkan jalak putih; di Prigen, jalak suren; dan di Bali, jalak Bali.
Hasilnya signifikan. Populasi jalak Bali kini telah mencapai lebih dari 600 ekor, melampaui target 500 ekor, ujar Tony. “Harusnya statusnya diturunkan, bukan lagi critical endangered. Bahkan, di Bali kini dapat ditemukan hingga 40 ekor jalak Bali dalam satu pohon.”
Tony menegaskan bahwa konservasi tidak pernah datang terlambat. Tantangan terbesarnya adalah membangun kesadaran, terutama di kalangan anak-anak dan generasi muda, tentang pentingnya menjaga alam.
Menurutnya, keberadaan lembaga konservasi yang menampilkan satwa kepada publik juga memiliki tanggung jawab moral. “Dari situ, kita bisa menyisihkan sebagian untuk menyadarkan masyarakat tentang pentingnya lingkungan dan alam,” katanya.
Dia juga menekankan bahwa lingkungan berkelanjutan tidak mungkin terwujud tanpa keberadaan satwa dan tumbuhan.
TSI, kata Tony, telah membuktikan hal tersebut dengan merehabilitasi lahan bekas kebun teh peninggalan Belanda yang sudah tidak produktif. “Sekarang lahan ini sudah menjadi hutan kembali dan disukai burung-burung serta satwa lainnya,” ujarnya.
Ketika tumbuhan tumbuh subur dan lingkungan cocok, satwa liar akan datang dengan sendirinya. Meski demikian, Tony mengakui penanaman pohon-pohon endemik Jawa belum digarap secara serius. “Kalau sudah ada yang memulai, pasti kita dukung,” tegasnya.
Laporan: Redaksi

.jpg)








