Kisah – Wanita Uganda ubah limbah pertanian jadi biofuel untuk selamatkan hutan

Set Her Free, sebuah organisasi nonpemerintah di Uganda yang memberdayakan wanita muda yang rentan untuk membuat briket biomassa. (Xinhua)

Penggunaan briket biomassa dapat menghasilkan penghematan biaya energi yang signifikan hingga 30-40 persen dibandingkan dengan bahan bakar tak terbarukan, sehingga menjadikannya pilihan yang menguntungkan secara ekonomi.

 

Kampala, Uganda (Xinhua) – Setiap pagi, Sheeba Kwagala dan rekannya pergi ke tempat perlindungan di ibu kota Uganda, Kampala, untuk menumbuk limbah pertanian, yang sebagian besar adalah kulit pisang dan sisa tanaman, dengan molase dan tanah liat untuk membuat briket.

Briket, salah satu jenis sumber energi terbarukan dan bentuk biofuel padat, dikatakan lebih hemat energi dibandingkan dengan kayu atau arang, yang banyak digunakan di negara Afrika Timur tersebut.

“Kami menghancurkan limbah pertanian, kemudian mencampurnya dengan tanah liat dan molase untuk memadatkannya. Campuran tersebut lalu kami masukkan ke dalam mesin pembuat briket. Belajar cara membuat briket adalah hal yang mudah, dan saya akan berbagi keterampilan yang saya miliki dengan wanita lain,” tutur Kwagala (20) kepada Xinhua dalam sebuah wawancara baru-baru ini.

Menurut Organisasi Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-Bangsa (FAO), biomassa adalah sumber energi utama di Uganda, yang menyumbang 94 persen dari seluruh energi yang dihasilkan. Dari total biomassa yang dikonsumsi, bahan bakar kayu menyumbang sekitar 80 persen, arang 10 persen, dan residu tanaman empat persen. Sembilan dari 10 rumah tangga menggunakan kayu bakar atau arang untuk memasak.

FAO mengatakan bahwa produksi arang memiliki dampak negatif yang luas terhadap lingkungan, sosial, dan ekonomi.

Meskipun terjadi peningkatan tutupan hutan baru-baru ini dari 9 persen pada 2015 menjadi 13 persen pada 2021, dan diperkirakan akan meningkat menjadi 15 persen pada 2025, tutupan hutan Uganda menyusut dari semula yang mencakup 25 persen dari total luas daratan negara tersebut pada tahun 1990 menjadi sekitar 9 persen pada 2015, menurut kepada Otoritas Hutan Nasional, badan konservasi hutan yang dikelola pemerintah Uganda.

Menyambut Hari Lingkungan Hidup Sedunia yang diperingati pada 5 Juni setiap tahunnya, Kwagala dan semakin banyak pembuat briket lainnya di Uganda turut berperan dalam memberikan dampak positif.

Melalui organisasi yang menaungi mereka, Set Her Free, sebuah organisasi nonpemerintah lokal yang memberdayakan wanita muda yang rentan, mereka memasok briket ke restoran, sekolah, dan lembaga lain yang beralih dari penggunaan kayu atau arang sebagai bahan bakar.

“Briket adalah salah satu sumber energi utama kami di Set Her Free. Ide ini muncul dari kebutuhan untuk menyelamatkan lingkungan sebagai sebuah organisasi, dan juga untuk melatih serta mengajari anak-anak perempuan kami tentang cara menyelamatkan lingkungan. Jadi, dalam pembuatan briket ini kami menggunakan limbah pertanian seperti kulit pisang,” jelas petugas program Set Her Free Robert Agaba.

Menurut dia, pengguna setia kayu dan arang, seperti sekolah dan hotel, semakin banyak yang beralih ke briket karena harga kayu dan arang menjadi lebih mahal akibat penggundulan hutan.

“Arang dan kayu merupakan sumber energi utama, tetapi seiring semakin meningkatnya urbanisasi di negara ini, kayu bakar semakin langka, arang semakin langka. Arang menjadi mahal, dan hutan pun menjadi gundul. Manusia terus merusak hutan-hutan ini, yang kita perlukan untuk lingkungan kita, untuk pembentukan curah hujan. Jadi, briket ini menyelamatkan lingkungan. Briket ini menyelamatkan kita dari pemanasan global, karena kami tidak merusak hutan. Kami menggunakan limbah pertanian, jadi kami menyelamatkan hutan yang terancam hancur,” kata Agaba.

Bank Dunia menyatakan, penggunaan briket biomassa dapat menghasilkan penghematan biaya energi yang signifikan hingga 30-40 persen dibandingkan dengan bahan bakar tak terbarukan, sehingga menjadikannya pilihan yang menguntungkan secara ekonomi.

“Saya belajar cara membuat briket ini dalam satu hari. Suatu hari mereka memberi tahu kami bahwa kami akan belajar cara membuat briket ini. Guru kami menyiapkan arang, tanah liat, dan molase, lalu mencampurnya. Awalnya, belajar menggunakan mesin agak sulit, tetapi setelah terbiasa, pengoperasiannya kini menjadi mudah,” ujar pembuat briket Sheeba Kwagala.

Michael Kalyesubula, seorang koki di sebuah restoran di Kampala, mengatakan kepada Xinhua bahwa dirinya kini lebih memilih menggunakan briket dibandingkan arang.

“Harganya hanya 2.000 shilling Uganda di Uganda. Dan satu briket ini, ketika digunakan di tungku arang rumah tangga kita, bisa bertahan 8 jam sampai 9 jam. Sementara jika menggunakan arang, saya akan membutuhkan satu baskom penuh arang, yang tentu membuat saya harus merogoh kocek lebih dalam,” terang Michael Kalyesubula, yang bekerja sebagai koki.

*100 shilling Uganda = 428 rupiah

Laporan: Redaksi

Tinggalkan Komentar

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Iklan