Metana dari kebocoran pipa Nord Stream di dasar Laut Baltik yang terjadi lebih dari dua bulan lalu, tidak naik ke atmosfer, namun larut dalam air dan menyebar mengikuti arus, sehingga berpotensi merusak ekosistem.
Stockholm, Swedia (Xinhua) – Lebih dari dua bulan setelah kebocoran gas pertama di jalur pipa Nord Stream dilaporkan, tingkat metana masih tinggi dan berpotensi menimbulkan ancaman bagi ekosistem, demikian disampaikan para peneliti di sebuah universitas Swedia pada Ahad (11/12).
Penelitian menunjukkan bahwa “sebagian besar gas metana yang bocor dari jalur pipa di dasar Laut Baltik tersebut tidak naik ke atmosfer. Sebaliknya, metana larut dalam air dan menyebar mengikuti arus,” ujar University of Gothenburg dalam sebuah siaran pers.
“Dalam dua pekan pertama, kami melihat tingkat metana yang sangat tinggi, hampir terlalu tinggi untuk diukur oleh sensor kami dan mungkin hingga seratus kali lebih tinggi dari tingkat normal. Baru sekarang kami melihat penurunan kembali ke level normal, namun demikian kami bahkan terkadang masih melihat sisa-sisa metana yang sangat tinggi,” kata Bastien Queste, seorang ahli kelautan di universitas tersebut.
Penelitian itu dilakukan bekerja sama dengan yayasan penelitian kelautan Swedia, Voice of the Ocean. Para peneliti mengerahkan robot bawah air untuk melakukan pengukuran berkelanjutan dan data dikirim ke peneliti melalui satelit.
“Metana dalam jumlah besar yang larut dalam air itu mungkin akan memengaruhi kehidupan laut,” papar Thomas Dahlgren, seorang ahli biologi kelautan di Departemen Ilmu Kelautan University of Gothenburg.
Dahlgren berteori bahwa penurunan metana yang cepat adalah karena dicerna oleh bakteri, sesuatu yang akan memicu fertilisasi berlebihan dan pengasaman laut.
“Itulah yang terjadi setelah kebocoran serupa di Teluk Meksiko pada 2010,” ungkap Dahlgren.
Jalur pipa tersebut menyimpan sekitar 778 juta meter kubik metana ketika mengalami kerusakan, lapor Badan Energi Denmark.
Laporan: Redaksi