Pemerintahan baru Palestina yang dipimpin oleh Perdana Menteri Palestina Mohammad Mustafa resmi dilantik, terdiri dari 23 menteri dengan portofolio, termasuk setidaknya enam menteri dari Jalur Gaza.
Ramallah, Palestina (Xinhua) – Pemerintahan baru Palestina yang dipimpin oleh Perdana Menteri Palestina Mohammad Mustafa resmi dilantik pada Ahad (31/3) di Kota Ramallah, Tepi Barat.
Pemerintahan baru tersebut terdiri dari 23 menteri dengan portofolio, termasuk setidaknya enam menteri dari Jalur Gaza. Mustafa juga akan mengambil alih posisi menteri luar negeri dari diplomat veteran, Riyad Al-Maliki.
Pada saat upacara pelantikan di depan Presiden Palestina Mahmoud Abbas, Mustafa berjanji pemerintahan barunya akan melayani seluruh rakyat Palestina, sekaligus menekankan bahwa referensi politik dari pemerintahan baru tersebut adalah Organisasi Pembebasan Palestina (Palestine Liberation Organization) serta program politik dan komitmen internasionalnya, sebagaimana diamanatkan dalam surat tugas yang diuraikan oleh Abbas.
Pada sebuah rapat dengan pemerintah baru tersebut usai upacara pelantikan, Abbas menegaskan kembali bahwa upaya sedang dilakukan melalui koordinasi dengan pihak-pihak Arab dan internasional untuk menghentikan konflik di Gaza.
“Tujuan politik kami adalah untuk mencapai kebebasan, kemerdekaan, dan pembebasan dari pendudukan (Israel), serta kami bekerja sama dengan pihak-pihak Arab dan internasional yang peduli untuk memperoleh keanggotaan penuh di PBB,” tutur Abbas, menurut kantor berita resmi WAFA.
Pada 14 Maret, Abbas menugaskan Mustafa, yang merupakan kepala Dana Investasi Palestina (Palestine Investment Fund) sekaligus penasihat ekonomi senior bagi Abbas, untuk membentuk pemerintahan ke-19, menurut WAFA.
Penunjukan Mustafa dilakukan setelah pemerintah Palestina sebelumnya mengundurkan diri karena situasi yang sulit di tengah perkembangan di Gaza, Tepi Barat, dan Yerusalem, serta tekanan yang semakin besar terhadap Abbas untuk mereformasi Otoritas Palestina dan memprakarsai pembentukan kerangka kerja politik yang mampu mengatur masa depan negara Palestina setelah konflik Gaza.
Laporan: Redaksi