Banner

Jakarta (Indonesia Window) – Harga minyak di Asia diperdagangkan lebih tinggi tetapi dalam kisaran sempit pada Kamis pagi, setelah awal pekan ini diguncang oleh kehilangan pasokan dari Libya dan prospek permintaan yang mengkhawatirkan karena Dana Moneter Internasional (IMF) memangkas perkiraan pertumbuhan globalnya.

Harga minyak mentah berjangka Brent terdongkrak 55 sen atau 0,5 persen, menjadi diperdagangkan di 107,35 dolar AS per barel pada pukul 01.17 GMT, menutup kerugian dari sesi sebelumnya.

Harga minyak mentah berjangka West Texas Intermediate (WTI) AS bertambah 41 sen atau 0,4 persen, menjadi diperdagangkan di 102,60 dolar AS per barel, menambah kenaikan 19 sen di sesi sebelumnya.

Para analis mengatakan volatilitas pasar kemungkinan akan meningkat lagi segera, dengan Uni Eropa masih mempertimbangkan larangan minyak Rusia karena invasinya ke Ukraina, yang disebut Moskow sebagai “operasi militer khusus”.

“Pasar minyak dan energi secara umum, memiliki banyak masalah besar dalam keadaan fluktuatif yang akan tetap berlangsung untuk waktu yang lama,” kata Analis Komoditas Commonwealth Bank, Tobin Gorey.

Banner

Libya, anggota OPEC, pada Rabu (20/4) mengatakan negara itu kehilangan produksi minyak lebih dari 550.000 barel per hari karena blokade di ladang utama dan terminal ekspor.

Prospek permintaan di China terus membebani pasar, ketika importir minyak terbesar dunia itu perlahan-lahan melonggarkan pembatasan ketat COVID-19 yang telah memukul aktivitas manufaktur dan rantai pasokan global.

Dana Moneter Internasional (IMF) menyoroti risiko di China ketika memangkas perkiraan pertumbuhan ekonomi global hampir satu poin persentase penuh pada Selasa (19/4).

Namun pasar minyak tetap ketat dengan Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak dan sekutu yang dipimpin oleh Rusia, bersama-sama disebut OPEC+, berjuang untuk memenuhi target produksi mereka dan dengan stok minyak mentah AS turun tajam dalam pekan yang berakhir 15 April.

“Tidak banyak berita tambahan semalam, dengan lintasan dari sini benar-benar bergantung pada apakah negara lain bergabung dengan Inggris/AS dalam melarang impor minyak Rusia,” kata Direktur Pelaksana SPI Asset Management Stephen Innes dalam sebuah catatan.

Delapan pekan setelah Rusia melancarkan invasi ke Ukraina, negara-negara Uni Eropa sedang mengevaluasi cara untuk mengimbangi potensi larangan minyak Rusia, tetapi belum ada keputusan yang dibuat mengenai paket sanksi keenam.

Banner

Laporan: Redaksi

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Banner

Iklan