Metode disinfeksi konvensional menargetkan nyamuk dewasa, larva, dan pupa, tetapi telur nyamuk dapat tetap dorman di tempat berkembang biak untuk waktu yang lama, sehingga sulit untuk dibasmi.
Guangzhou, China (Xinhua/Indonesia Window) – Dalam sebuah pendekatan baru untuk memerangi demam berdarah dengue (DBD), kota metropolitan Guangzhou di China selatan melepasliarkan nyamuk steril sebagai bagian dari strategi pertahanannya.
Guangzhou, yang terletak di daerah subtropis, mengalami cuaca panas dan basah untuk periode waktu yang lama. Kondisi ini menciptakan lingkungan yang ideal bagi perkembangan nyamuk pembawa DBD. Tahun ini, kota tersebut memasuki awal musim gugur pada 18 November, yang sekaligus mengakhiri periode musim panas panjang yang telah berlangsung selama 240 hari.
Dari April hingga November setiap tahunnya, jutaan nyamuk yang telah disteril dilepasliarkan di Desa Xiashi untuk mengatasi penyakit menular yang serius itu. Nyamuk-nyamuk ini adalah nyamuk Aedes albopictus jantan yang telah diinfeksi dengan bakteri Wolbachia, sehingga membuat mereka mandul.
Qian Wei, seorang peneliti dari tim China yang pertama kali mengadopsi penggunaan nyamuk tersebut untuk mengendalikan populasi nyamuk, menjelaskan bahwa DBD terutama ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes.
Metode disinfeksi konvensional menargetkan nyamuk dewasa, larva, dan pupa, tetapi telur nyamuk dapat tetap dorman di tempat berkembang biak untuk waktu yang lama, sehingga sulit untuk dibasmi, tambah Qian.
Nyamuk Aedes albopictus jantan yang telah diinfeksi Wolbachia dan disterilisasi oleh tim Qian, dikembangkan secara massal dan disaring di pabrik nyamuk di Guangzhou. Setelah dilepaskan, nyamuk-nyamuk tersebut akan kawin dengan nyamuk betina liar dan menghasilkan telur yang gagal menetas.
Mengingat nyamuk jantan tidak menggigit atau menghisap darah, mereka dapat dilepaskan dalam waktu yang lama, sehingga dapat mengurangi populasi Aedes albopictus sekaligus mencegah penyebaran DBD, kata Qian.
Desa Xiashi merupakan lokasi uji coba perdana untuk metode pengendalian biologis ini.
Zhu Jieyong, direktur komite desa tersebut, mengatakan bahwa lokasi desa yang dekat dengan perbukitan dan sungai menciptakan kondisi yang ideal bagi nyamuk untuk berkembang biak. Di masa lalu, puluhan kasus DBD kerap dilaporkan di desa itu setiap tahunnya. Pada 2018, desa itu pun mengundang tim Qian untuk melakukan uji coba.
“Kami melepasliarkan nyamuk sekali atau dua kali sepekan di desa ini, sekitar 1 juta nyamuk jantan dalam satu waktu,” tutur Qian. Proses pelepasliaran nyamuk itu sebagian besar dilakukan menggunakan drone. Selain itu, mereka juga memasang perangkap nyamuk dan ovitrap sebagai upaya untuk lebih memahami struktur populasi nyamuk dan memantau kepadatannya.
Tim itu juga memantau desa-desa di sekitarnya sebagai daerah kontrol untuk membandingkan dan menganalisis dampak pelepasliaran nyamuk jantan steril. Pemantauan dan analisis data yang dilakukan secara berkesinambungan menunjukkan adanya penurunan signifikan pada populasi nyamuk Aedes albopictus, dengan tingkat pengendalian yang mencapai rekor tertinggi 98 persen.
Menurut Zhu, sejak dimulainya uji coba ini, desa tersebut tidak perlu lagi menyewa tenaga profesional untuk menyemprotkan pestisida. Hal ini menciptakan tempat tinggal yang lebih aman, sehat, dan ramah lingkungan bagi warga setempat. Selama tujuh tahun terakhir, tidak ada satu pun kasus DBD yang dilaporkan terjadi di desa tersebut.
Saat ini, Xiashi berfokus pada pemantauan rutin, dan telah mengurangi jumlah nyamuk jantan steril yang dilepasliarkan per pekannya dari semula 1 juta ekor lebih menjadi sekitar 300.000 ekor. “Kami yakin bahwa langkah intervensi dan pencegahan dini yang sesuai dengan pola pertumbuhan nyamuk dapat membantu memutus rantai penularan DBD, serta mencapai efek pengendalian yang ideal di desa ini,” kata Qian, yang berpendapat demikian berdasarkan pengamatan selama bertahun-tahun di desa tersebut.
Laporan: Redaksi