Jakarta (Indonesia Window) – Pondok pesantren (ponpes) tak bisa lepas dari sejarah bangsa Indonesia sebab ia telah lahir jauh sebelum kemerdekaan 1945, bahkan para tokoh dan pengikutnya turut berjuang dalam mencapai cita-cita nasional tersebut.
Dalam pengertian yang telah memasyarakat, pondok pesantren, kadang hanya disebut pondok atau pesantren, adalah sekolah Islam berasrama di Indonesia.
Karenanya, pendidikan di pesantren bertujuan memperdalam pengetahuan tentang Al-Quran dan Sunnah Rasul ﷺ dengan mempelajari bahasa Arab, termasuk kaidah-kaidahnya.
Agar proses pembelajaran berjalan efektif, para pelajar pesantren yang disebut santri, belajar sekaligus tinggal di asrama yang disediakan oleh pesantren.
Model kelembagaan sejenis juga terdapat di negara lain, seperti di Malaysia dan Thailand Selatan yang disebut Sekolah Pondok, serta di Pakistan dan India yang disebut Madrasa Islamia.
Terminologi
Istilah pesantren berasal dari kata pe-santri-an. Dalam Bahasa Jawa kata “santri” berarti murid. Sedangkan istilah pondok berasal dari bahasa Arab, funduuq (فندوق) yang berarti penginapan. Khusus di Aceh, pesantren disebut dayah.
Biasanya, pesantren dipimpin oleh seorang kyai. Dalam mengatur kehidupan di pondok pesantren, kyai menunjuk seorang santri senior yang disebut lurah pondok untuk mengurus adik-adik kelasnya.
Tujuan para santri dipisahkan dari orangtua dan keluarga mereka adalah agar dapat belajar hidup mandiri dan meningkatkan hubungan dengan Allah ﷻ, dan kyai mereka.
Berkaitan dengan istilah, ada pendapat lain yang menyebutkan bahwa pesantren berasal dari kata santri yang dapat diartikan sebagai tempat santri.
Kata santri berasal dari kata cantrik (bahasa Sanskerta, atau mungkin Jawa) yang berarti orang yang selalu mengikuti guru, yang kemudian dikembangkan oleh Perguruan Taman Siswa dalam sistem asrama yang disebut Pawiyatan.
Istilah santri juga ada dalam bahasa Tamil yang berarti guru mengaji, sedangkan antropologi C.C Berg berpendapat, kata tersebut berasal dari istilah shastri, yang dalam bahasa India berarti orang yang tahu buku-buku suci agama Hindu atau seorang sarjana ahli kitab suci agama Hindu.
Terkadang santri juga dianggap sebagai gabungan kata “saint” (manusia baik) dengan suku kata “tra” (suka menolong), sehingga pesantren dapat berarti tempat pendidikan manusia baik-baik.
Kelahiran
Umumnya, suatu pondok pesantren bermula dari adanya seorang kyai di suatu tempat, kemudian datang santri yang ingin belajar agama kepadanya.
Setelah semakin hari semakin banyak santri yang datang, timbullah gagasan untuk mendirikan pondok atau asrama di samping rumah kyai.
Pada zaman dahulu, kyai tidak merencanakan bagaimana membangun pondoknya itu, namun yang terpikir hanyalah bagaimana mengajarkan ilmu agama supaya dapat dipahami dan dimengerti oleh para santri.
Kyai saat itu belum memberikan perhatian atas tempat-tempat yang didiami oleh para santri, yang umumnya sangat kecil dan sederhana.
Mereka menempati sebuah gedung atau rumah kecil yang mereka dirikan sendiri di sekitar rumah kyai. Semakin banyak jumlah santri, maka bertambah pula rumah yang didirikan.
Para santri selanjutnya mempopulerkan keberadaan pondok pesantren tersebut, sehingga menjadi terkenal ke mana-mana, seperti pondok-pondok yang lahir pada zaman Walisongo.
Ajaran
Pesantren pada mulanya merupakan pusat penggemblengan nilai-nilai dan penyiaran agama Islam. Namun, dalam perkembangannya, lembaga ini semakin meluaskan wilayah garapannya yang tidak selalu mengakselerasikan mobilitas vertikal (dengan penjejelan materi-materi keagamaan), tapi juga mobilitas horizontal (kesadaran sosial).
Pesantren kini tidak lagi berkutat pada kurikulum yang berbasis keagamaan dan cenderung melangit, namun juga kurikulum yang menyentuh persoalan kekinian masyarakat.
Dengan demikian, pesantren tidak bisa lagi didakwa semata-mata sebagai lembaga keagamaan murni, tetapi juga (seharusnya) menjadi lembaga sosial yang terus merespons berbagai persoalan masyarakat di sekitarnya.
Maka kini muncul pondok pesantren moderen.
Moderenisasi pesantren disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, munculnya wacana penolakan taqlid (mengikuti tanpa alas an) dengan “kembali kepada Al-Quran dan Sunnah” sebagai isu sentral yang mulai dibicarakan sejak tahun 1900. Sejak saat itu, perdebatan antara kaum tua dan kaum muda, atau kalangan reformis dengan kalangan ortodoks atau konservatif, mulai mengemuka sebagai wacana publik.
Kedua, kian mengemukanya wacana perlawanan nasional atas kolonialisme Belanda.
Ketiga, terbitnya kesadaran kalangan Muslim untuk memperbarui organisasi ke-Islaman mereka yang berkonsentrasi dalam aspek sosial ekonomi.
Keempat, dorongan kaum Muslim untuk memperbaharui sistem pendidikan Islam.
Salah satu dari keempat faktor tersebut dalam pandangan Karel A. Steenbrink, sejatinya selalu menjadi sumber inspirasi para pembaharu Islam untuk melakukan perubahan Islam di Indonesia.
Budaya
Pondok Pesantren adalah lembaga pendidikan Islam tertua yang merupakan produk budaya Indonesia.
Keberadaan Pesantren di Indonesia dimulai sejak Islam memasuki negeri ini dengan mengadopsi sistem pendidikan keagamaan yang sebenarnya telah lama berkembang sebelum kedatangan Islam di Nusantara.
Sebagai lembaga pendidikan yang telah lama berakar di negeri ini, pondok pesantren diakui memiliki andil yang sangat besar dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia.
Banyak pesantren di Indonesia hanya membebankan para santrinya dengan biaya yang rendah, meskipun beberapa pesantren moderen menerapkan biaya yang relative tinggi.
Organisasi massa (ormas) Islam yang paling banyak memiliki pesantren adalah Nahdlatul Ulama (NU).
Ormas Islam lainnya yang juga memiliki banyak pesantren adalah Al-Washliyah, Hidayatullah, Muhammadiyah dan Persis (Persatuan Islam).
Namun, tidak sedikit ponpes di Indonesia yang tak terikat dengan ormas-ormas Islam, diantaranya Pondok Pesantren Kebarongan di Banyumas, Jawa Tengah. Pondok pesantren ini berdiri pada abad ke-19, jauh sebelum berdirinya ormas-ormas Islam di Indonesia.
Penulis: M. Zuhair AG