Menakar peluang Indonesia di mahkamah hukum laut internasional

Siswanto Rusdi, Direktur the National Maritime Institute (Namarin).

Enam hakim dari 21 anggota Mahkamah Hukum Laut Internasional (International Tribunal for the Law of the Sea/ITLOS) akan berakhir masa tugasnya tahun ini, sehingga terbuka peluang bagi negara-negara penandatangan Konvensi Hukum Laut PBB (UNCLOS) 1982 untuk menempatkan wakilnya di sana, tak terkecuali Indonesia.

Indonesia sebenarnya pernah mencalonkan salah seorang diplomat senior untuk berlaga memperebutkan posisi terhormat itu.

Namun, sang kandidat, Arif Havas Oegroseno yang mencalonkan diri untuk periode 2017-2026 gagal mendapatkan dukungan dari pemilih yang terdiri atas negara-negara pihak UNCLOS.

Ia dikalahkan kandidat lain asal Thailand, Kriangsak Kittichaisaree.

Arif yang saat pencalonan menjabat Deputi Kedaulatan Maritim pada Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman kini ditempatkan di Jerman sebagai duta besar.

Tak jelas apakah posisi ini merupakan obat pelipur lara atas kekalahan dalam pemilihan tersebut atau hal lainnya.

Posisi hakim ITLOS pada dasarnya terbuka untuk mereka yang memenuhi syarat setiap tiga tahun sekali.

Kuota yang disiapkan setiap putaran sebanyak sepertiga (tujuh kursi) dari 21 hakim anggota mahkamah.

Menurut aturan ITLOS, panel hakim dipilih untuk masa kerja selama sembilan tahun.

Agar bisa bekerja penuh selama kurun waktu itu, mereka harus mampu memenangkan pemilihan setiap tahun.

Dalam pemilihan hakim mahkamah yang diikuti oleh Arif kala itu, ada seorang kandidat yang merupakan hakim incumbent, yaitu Josep Akl.

Hakim asal Lebanon itu terpilih sejak panel hakim ITLOS terbentuk pada 1996.

Karirnya bertahan hingga 2017 karena ia mampu mencalonkan dan dicalonkan kembali oleh negara-negara pihak UNCLOS manakala waktu maksimal sembilan tahun berakhir.

Hakim-hakim ITLOS memang dapat dipilih kembali setelah itu.

Sependek pengetahuan penulis, tidak ada batasan hingga berapa kali seorang hakim dapat dipilih.

Kiprah Joseph di lembaga yang bermarkas di kota Hamburg, Jerman itu baru berakhir setelah suaranya disapu Kriangsak dalam pemilihan.

Para hakim ITLOS berasal dari representasi sistem-sistem hukum utama di dunia dan keterwakilan regional.

Perwakilan negara dalam panel hakim Mahkamah Hukum Laut mengacu kepada zonasi yang disusun Majelis Umum PBB yang terdiri atas Afrika, Asia, Eropa Timur, Amerika Latin dan Karibia, Eropa Barat dan negeri-negeri lainnya.

Setiap kawasan yang terwakili di ITLOS hanya bisa menempatkan seorang hakim saja, dan hakim-hakim ITLOS tidak boleh berasal dari satu negara yang sama.

Asas keterwakilan itu betul-betul diperhatikan saat menyidang perkara.

Misalnya, jika majelis hakim yang menyidang sebuah perkara tidak ada yang berasal dari negara penggugat, maka akan disediakan hakim ad hoc yang bisa dipilih negara penggugat untuk membantu mereka memperjuangkan maksud dan tujuannya berperkara di ITLOS.

Adapun perkara yang diadili majelis hakim bermacam-macam jenisnya. Mulai dari sengketa perbatasan maritim (maritime delimitation), perikanan, hingga penahanan kapal.

Pihak-pihak yang bersengketa bermacam-macam pula. Negara pihak UNCLOS (state party) sudah pasti salah satunya.

Tetapi, pihak selain state party atau negara atau lembaga internasional yang bukan penandatangan atau para pihak UNCLOS 1982 diberi kesempatan yang setara untuk memanfaatkan layanan Mahkamah Hukum Laut.

Tidak ketinggalan, korporasi pelat merah dan entitas privat pun beroleh hak yang sama.

Syaratnya gampang, yakni para pihak yang bersengketa sepakat menerima yurisdiksi ITLOS untuk kasus yang dipersengketakan.

Lalu, pertanyaannya, dihadapkan dengan kesempatan mengisi posisi hakim Mahkamah Hukum Laut Internasional yang terbuka lebar, apa yang bisa dilakukan oleh Indonesia sebagai state party UNCLOS 1982?

Jawabnya jelas harus dimanfaatkan, jangan dikasih kendor ini barang.

Sekarang mari kita menakar peluang Indonesia dalam mengkapitalisasi opportunity yang ada.

Pertama, dari sisi geografis. Takaran peluang Indonesia jelas kuat. Kita merupakan negara kepulauan terbesar di dunia.

Indonesia juga dikaruniai keistimewaan berada di antara dua dari lima samudera dunia, yaitu Samudra Pasifik dan Samudra India.

Kondisi tersebut bisa dijadikan modal bargaining kita dengan negara-negara pemilik suara saat pencalonan kandidat hakim.

Tinggal bagaimana membangun narasi yang bernas agar modal geografis yang kita miliki tersebut bisa bermanfaat bagi negara yang juga setipe dengan Indonesia khususnya dan negara lain yang menitipkan pilihannya kepada Indonesia umumnya.

Kedua, dari sisi sumberdaya manusia. Yang dimaksud sumberdaya manusia di sini adalah mereka yang ahli dalam Hukum Laut Internasional (bisa birokrat, masyarakat umum maupun akademisi). Takarannya lumayan juga.

Artinya, Indonesia memiliki stok ahli ilmu yang bersangkutan cukup banyak. Di antaranya Etty R Agus dan Hikmahanto Juwana. Reputasi mereka juga sudah dikenal luas oleh khalayak di dalam maupun luar negeri sehingga relatif lebih mudah menyosialisasikannya kepada para pemilih.

Tinggal apakah mereka mau dicalonkan atau tidak. Ini sudah menyentuh aspek political will pemerintah. Bukan semata-mata urusan pribadi bakal calon.

Berkenankah pemerintah mengulang kembali candidacy anak negeri untuk posisi hakim di ITLOS setelah gagal dengan pencalonan Arif Havas Oegroseno pada 2017?

Bisa saja saat tulisan ini diselesaikan sedang berlangsung operasi senyap pencalonan hakim Mahkamah Hukum Laut asal Indonesia. Bila benar, patut diapresiasi.

Jika tidak ada gerakan sama sekali, tulisan ini mengimbau pemerintah untuk bersegera menggelar penjaringan bakal calon hakim ITLOS. Proses ini perlu digelar terbuka karena pencalonan sebelumnya berlangsung cukup tertutup.

Publik di dalam negeri tidak banyak yang mengetahui bahwa Indonesia pernah mencalonkan salah satu putra terbaiknya untuk berlaga dalam ajang pemilihan hakim Mahkamah Hukum Laut.

Memang nominasi Havas sempat muncul dalam pemberitaan media lokal, tetapi tidak semasif liputan pencalonan Indonesia menjadi anggota Dewan International Maritime Organisation (IMO).

Indonesia harus mulai mewujudkan komitmennya untuk memajukan diplomasi maritim sebagai salah satu pilar Poros Maritim Dunia.

Pencalonan anak negeri ini sebagai hakim ITLOS dapat membuktikan bahwa visi itu masih bernyawa, bukan hanya retorika.

Penulis: Siswanto Rusdi [Direktur The National Maritime Institute (Namarin)]

Tinggalkan Komentar

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Iklan