Opini – Sampah plastik dan masa depan anak-cucu kita

Duta Besar M. Wahid Supriyadi sebagai Ketua National Plastic Action Partnership mengikuti simposium bertema ‘Ending the Plastic Waste’ yang diselenggarakan oleh Indo Pacific Plastic Innovation Network (IPPIN) di Melbourne, Australia, pada 6-8 Agustus 2024. (Photo pribadi)

Lebih banyak plastik akan terjadi daripada ikan di laut, jika kita tidak berbuat sesuatu secara signifikan.

 

Jakarta (Indonesia Window) – World Economic Forum (WEF) memperkirakan pada 2050, jika kita tidak berbuat sesuatu secara signifikan, lebih banyak plastik akan terjadi daripada ikan di laut.

Ini (lebih banyak plastik) artinya  anak dan cucu kita akan makan ikan yang mengandung zat-zat berbahaya terhadap tubuh yang dihasilkan dari sampah plastik.

Sampah plastik menghasilkan partikel berbahaya seperti bisphenol A (BPA) dan phthalates yang dapat menyebabkan kanker, endocrine disruption (gangguan kelenjar hormon) dan masalah reproduksi. Mikropastik dapat masuk ke tubuh manusia melalui makanan dan air.

Dalam tayangan sebuah televisi swasta di Indonesia, dengan mengutip sumber riset yang dilakukan oleh Cornell University, orang Indonesia makan 15 gram mikroplastik per bulan dari makanan laut, atau yang kedua terbesar di dunia. Ini sungguh mengerikan.

Atas dasar ini, lembaga PBB yang menangani masalah lingkungan hidup (United Nations Environment Assembly/UNEA) mengeluarkan Resolusi PBB No 5/14 yang membidani berdirinya Intergovernmental Negotiating Committee (INC).

INC ditugaskan untuk membentuk sebuah perjanjian yang mengikat anggotanya (International Legally Binding Instrument/ILBI) dalam bentuk Global Plastic Treaty.

Diharapkan draft pertama perjanjian tersebut sudah difinalisasi dalam sidang INC ke-5 di Busan, Korea Selatan, akhir tahun ini.

Ini sangat penting untuk dipahami oleh kalangan industri nasional jika tidak ingin produknya ditolak di mana-mana. Sekarang pun beberapa perusahaan pengekspor hasil laut kita ditolak masuk ke negara-negara lain karena memiliki kandungan merkuri atau bahan kimia lain yang di atas ambang batas.

Sejarah plastik

Teknologi plastik ditemukan oleh Leo Baekeland pada 1907 dan mulai diproduksi masal pada 1920-an dengan ditemukannya polyvinyl (PVC) dan polystyrene (PS).

Antara 1930-1940-an ditemukan polyethylene (PE), nylon dan teflon (PTFE) yang merupakan bahan utama untuk pembuatan parasut sampai bahan insulasi radar yang sangat dibutuhkan selama Perang Dunia II.

Setelah Perang Dunia II, plastik merupakan bagian dari kehidupan kita sehari-hari. Plastik dipakai sebagai alat pembungkus, produk mainan, peralatan rumah tangga dan bahan body mobil dan sepeda motor.

Baru pada awal 970-an mulai muncul kekhawatiran akan bahaya plastik, terutama plastik sekali pakai (single used plastic/SUP). Plastik tidak segera dapat dicerna oleh tanah, bahkan butuh ratusan hingga seribu tahun, khususnya untuk plastik konvensional.

Menurut MIPOL Educational, pada 2019 dunia memproduksi sekitar 390 juta ton sampah plastik per tahun, dan jumlahnya akan menjadi dua kali lipat setiap 20 tahun.

Asia, khususnya RRC, memproduksi sekitar 50 persen sampah plastik dunia, disusul Eropa antara 15-20 persen dan Amerika Utara, khususnya Amerika Serikat, 18-20 persen.

Dari jumlah tersebut, hanya sekitar sembilan persen yang didaur ulang, selebihnya dibuang ke laut, ditanam dalam tanah atau dibakar.

Sekitar 60 persen konsumsi plastik dipakai oleh tiga sektor, yaitu pengepakan (packaging) mencapai 154 juta ton per tahun, diikuti oleh bangunan dan konstruksi 63 juta ton dan otomotif 60 juta ton.

Indonesia sendiri diperkirakan memproduksi sekitar 7,8 juta ton setiap tahun, dengan 4,9 juta ton tidak dikelola dengan baik.

Parahnya sekitar 58 persen sampah tidak pernah dikelola dan sembilan persen  yang dibuang ke laut (Jakarta Globe, 18 April 2023). Hanya 10 persen sampah plastik yang didaur ulang.

Indonesia menargetkan pengurangan sampah plastik sampai 70 persen pada 2025. Walaupun target itu tidak terpenuhi, karena saat ini menurut Kementerian Lingkungan dan Kehutanan angkanya baru mencapai 41 persen, komitmen ke arah sana semakin besar.

Simposium tentang sampah plastik

Satu simposium diselenggarakan pada 6-8 Agustus dengan tema ‘Ending the Plastic Waste’ di Melbourne, Australia, oleh Indo Pacific Plastic Innovation Network (IPPIN) yang disponsori oleh Centre for Scientific and Innovation Research Center (CSIRO) Australia.

Simposium dihadiri oleh sekitar 270 peserta yang berasal dari berbagai kalangan seperti LSM Lingkungan, akademis/universitas, industri, praktisi dari kawasan Indo Pasifik. Dari ASEAN hadir National Plastic Action Partnership (NPAP) Indonesia, Vietnam dan Thailand serta kalangan dari lembaga pemerintah terkait.

Indonesia diwakili oleh NPAP Indonesia, Bappenas, BRIN dan Kemeristekdikbud. NPAP Indonesia didirikan tahun 2019, yang pertama di ASEAN, yang merupakan platform ‘multistakeholder’ yang menjembatani kepentingan pembuat kebijakan (Pemerintah), akademis, para ahli, dan masyarakat madani untuk mengurangi polusi plastik.

NPAP merupakan bagian dari Global Plastic Action Partnership (GPAP). Saat ini NPAP memiliki anggota lebih dari 100, terdiri atas kementerian dan lembaga terkait, akademisi, LSM, industri, inovator dan masyarakat madani.

Selama tiga hari dibahas berbagai masalah tentang sampah plastik dan bagaimana mengatasinya.

Hampir semua negara di dunia saat ini mengalami krisis sampah plastik, baik dari negara maju maupun berkembang. Beberapa permasalahan besar yang saat ini dihadapi adalah belum adanya bahan alternatif plastik yang ramah lingkungan dan teknologi untuk mengubah sampah plastik mudah terurai (degradable).

Bahan alternatif sebenarnya sudah ada teknologinya, dengan menggunakan bahan alami, namun oleh kalangan industri dinilai belum bernilai ekonomis. Yang menarik adalah temuan dari Australian National University (ANU) yang bekerjasama dengan lembaga riset SAMSARA, yang berhasil memanfaatkan enzyme untuk mengurai sampah plastik.

Teknologi ini sudah mendapatkan paten dan akan segera diproduksi. Jika berhasil, ini merupakan teknologi terobosan yang dapat mengurangi masalah sampah plastik secara signifikan.

Masalah lain adalah perubahan perilaku (behavioral change). Dahulu, sebelum kita mengenal plastik ada sebuah lagu yang sangat populer di kalangan anak-anak di Jawa, yaitu ‘jika anjingnya mati, buanglah di sungai’.

Ketika itu yang ada hanya sampah organik yang mudah larut di tanah. Kita harus mengubah sikap ini. Tidak mudah. Kita harus mulai dari anak usia dini, sebagaimana dilakukan di negara-negara maju.

Juga dibahas antara lain tentang bahaya sampah plastik bagi kesehatan manusia, tentang bagaimana menjawab tantangan agar terjadi penurunan penggunaan sampah plastik sampai 80 persen pada 2030, penggunaan plastik untuk tujuan pertanian, penggunaan bioplastic, manajemen sampah dan daur ulang.

Tugas mengatasi sampah plastik (lebih banyak plastik) adalah tugas kita semua, termasuk kalangan industri baik yang memproduksi sampah plastik maupun sebagai pengguna.

Melalui skema extended producer responsibility (EPR), produsen (pabrik, importir, distributor dan pengecer) memiliki tanggung jawab terhadap dampak lingkungan dari plastik yang mereka hasilkan.

Masalah ini biasanya menjadi tarik ulur antara kepentingan untuk menjaga lingkungan di satu sisi dan menjaga keuntungan di lain pihak.

Beberapa perusahaan besar telah memiliki divisi yang menangani masalah pengolahan sampah plastik, sementara yang lain masih sebatas mengurangi tebalnya plastik sampai batas toleransi.

Masalah sampah plastik ini adalah tanggung jawab kita bersama demi masa depan anak dan cucu kita. Tanpa kerjasama yang erat para pemangku kepentingan, jangan harap kita bisa memenuhi target pengurangan sampah plastik pada 2025.

Indonesia sebenarnya telah mengeluarkan tiga peraturan yang mengatur tentang sampah plastik, yaitu Perpres No 83/2018 tentang Penanganan Sampah Laut, Penmen LH No 75/2019 tentang Peta Jalan Pengurangan Sampah oleh Produsen dan Permenparekraf No 5 tahun 2020 tentang Pedoman Pengelolaan Sampah Plastik di Destinasi Wisata Bahari, namun, peraturan ini tidak ada artinya jika kita tidak melaksanakannya dan tanpa adanya penegakan hukum bagi para pelanggar.

Penulis: M. Wahid Supriyadi adalah Ketua National Plastic Action Partnership (NPAP) 2024-2026; Dubes RI untuk UAE 2008-2022 & Dubes RI untuk Federasi Rusia merangkap Republik Belarus 2016-2020.

Tinggalkan Komentar

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Iklan