Latihan militer gabungan Korsel dengan Amerika Serikat dinilai telah meningkatkan konfrontasi dan krisis perang di dan sekitar Semenanjung Korea.
Seoul, Korea Selatan (Xinhua/Indonesia Window) – Kelompok perdamaian Korea Selatan menggelar sebuah aksi unjuk rasa pada Senin (19/8) untuk menolak latihan militer gabungan negara Asia itu dengan Amerika Serikat (AS), yang menurut mereka telah meningkatkan konfrontasi dan krisis perang di dan sekitar Semenanjung Korea.
Para demonstran dari kelompok sipil Solidaritas untuk Perdamaian dan Reunifikasi Korea (Solidarity for Peace and Reunification of Korea/SPARK) berkumpul di dekat kantor kepresidenan di pusat kota Seoul, yang juga merupakan lokasi kantor pusat Kementerian Pertahanan, untuk menyerukan perdamaian di Semenanjung Korea.
Sambil mengangkat spanduk dan poster bertuliskan slogan “Hentikan latihan yang mengintensifkan konfrontasi nuklir dan mendorong krisis perang” dan “Hentikan pembentukan aliansi Korea (Selatan)-AS-Jepang,” para pengunjuk rasa berteriak, “Menentang partisipasi dalam latihan militer (Korea Selatan)-AS.”
“Konfrontasi nuklir dan krisis perang dapat berakhir dengan perang nuklir, yang akan menyebabkan kepunahan rakyat kita dan, jika meluas, menyebabkan bencana nuklir di Asia Timur Laut,” kata salah seorang demonstran.
“Bahkan sekarang, otoritas berwenang Korea Selatan dan Amerika Serikat harus segera menghentikan latihan militer gabungan yang ilegal dan menyebabkan konfrontasi serta krisis perang di Semenanjung Korea dan di Asia Timur Laut,” tuturnya.
“Kami di sini untuk memperingatkan Anda bahwa apa yang akan dihasilkan dari (latihan militer) ini bukanlah perdamaian, melainkan perang. Ini bukanlah perdamaian yang dapat diwujudkan oleh aliansi perang (Korea Selatan)-AS-Jepang, aliansi nuklir, dan latihan serangan pencegahan,” kata demonstran lainnya.
Latihan Ulchi Freedom Shield (UFS), latihan militer musim panas tahunan yang menampilkan manuver lapangan, latihan pos komando yang disimulasikan komputer, dan latihan pertahanan sipil, dimulai lebih awal pada hari itu dan dijadwalkan akan berlangsung hingga 29 Agustus.
Korea Selatan mengeklaim bahwa latihan UFS bersifat defensif, tetapi Republik Rakyat Demokratik Korea (RRDK) mengecam latihan tersebut sebagai persiapan untuk invasi ke utara.
Dalam latihan selama 11 hari tersebut, pasukan gabungan berencana untuk memperluas pelatihan lapangan dan latihan tembak dengan amunisi asli (live-fire) di berbagai domain untuk memperkuat interoperabilitas dan memamerkan kemampuan gabungan mereka, kata Kepala Staf Gabungan (Joint Chiefs of Staff/JCS) Korea Selatan dalam sebuah pernyataan.
JCS menekankan bahwa pasukan gabungan ini akan semakin memperkuat kemampuan dan postur untuk memberikan efek gentar (deterrent effect) dan mempertahankan diri dari senjata pemusnah massal.
Kelompok aktivis lain berunjuk rasa menentang latihan UFS di dekat kantor kepresidenan, menuntut diakhirinya latihan perang dan dimulainya dialog antara dua Korea.
“Interoperabilitas yang diperkuat antara pasukan Korea (Selatan) dan Amerika Serikat tidak lebih dari sekadar ketergantungan yang lebih dalam dari pasukan Korea (Selatan) terhadap mobilisasi strategis AS,” kata Korea Peace Appeal, salah satu penyelenggara aksi unjuk rasa tersebut, dalam sebuah pernyataan.
“Pembentukan mekanisme kerja sama militer multilateral yang dipimpin AS di Asia sangat mengkhawatirkan karena mengarah pada meningkatnya konflik regional dan meningkatnya krisis perang,” kata penyelenggara.
Kelompok aktivis tersebut mendesak kedua negara untuk segera menghentikan semua kebijakan dan tindakan militer yang bermusuhan sembari memulihkan saluran komunikasi guna mengelola krisis dan menciptakan lingkungan untuk dialog.
Korea Peace Appeal adalah sebuah kampanye yang bertujuan untuk secara resmi mengakhiri Perang Korea 1950-53 dengan mengumpulkan 100 juta tanda tangan, yang diikuti oleh lebih dari 370 kelompok sipil dan agama di Korea Selatan serta lebih dari 70 organisasi mitra internasional.
Semenanjung Korea secara teknis masih dalam keadaan perang karena perang saudara tersebut berakhir dengan gencatan senjata, bukan perjanjian damai.
Laporan: Redaksi