Pembangunan Terusan Panama, jalur air artifisial di Panama yang menghubungkan Samudra Atlantik dengan Samudra Pasifik, dituntaskan oleh AS pada 1914 dan dikembalikan ke Panama pada 1999 berdasarkan perjanjian yang ditandatangani oleh presiden AS saat itu, Jimmy Carter, dan pemimpin Panama sebelumnya, Omar Torrijos.
Panama City, Panama (Xinhua/Indonesia Window) – Presiden Panama Jose Raul Mulino pada Ahad (22/12) menepis ancaman terbaru yang dilontarkan oleh presiden terpilih Amerika Serikat (AS) Donald Trump untuk mengambil alih kendali Terusan Panama, dengan menegaskan kembali bahwa “kedaulatan dan kemerdekaan” Panama tidak bisa “dinegosiasikan.”
“Saya ingin menyatakan dengan tegas bahwa setiap meter persegi Terusan Panama dan wilayah sekitarnya adalah milik Panama, dan akan tetap menjadi milik Panama,” tutur Mulino di media sosial X.
“Setiap warga Panama, di sini atau di mana pun di dunia, menyimpannya di dalam hati mereka, dan itu adalah bagian dari sejarah perjuangan dan penaklukan kita yang tak dapat diubah lagi,” imbuhnya.
Pembangunan Terusan Panama, jalur air artifisial di Panama yang menghubungkan Samudra Atlantik dengan Samudra Pasifik, dituntaskan oleh AS pada 1914 dan dikembalikan ke Panama pada 1999 berdasarkan perjanjian yang ditandatangani oleh presiden AS saat itu, Jimmy Carter, dan pemimpin Panama sebelumnya, Omar Torrijos. Kesepakatan itu membuat AS melepaskan kendalinya terhadap kanal tersebut pada 2000 dan menjamin netralitasnya.
Negara yang “dibuat”
Pada 2019, film dokumenter AS ‘Terusan Panama’ ditayangkan perdana. Meskipun film itu memperlihatkan signifikansi kanal tersebut secara global, film itu melewatkan satu bab penting, yakni intervensi AS dalam pemisahan diri Panama dari Kolombia. Peristiwa ini memastikan kontrol AS atas kanal tersebut selama hampir satu abad.
“Untuk membangun kanal tersebut, AS membantu Panama memperoleh kemerdekaan dari Kolombia, dengan demikian memecah belah republik saudara (sister republic) demi mewujudkan perjanjian kanal yang melindungi kepentingan AS,” tulis sejarawan asal Panama, Marixa Lasso, dalam bukunya ‘Erased: The Untold Story of the Panama Canal’.
Pada 1821, Panama mendeklarasikan kemerdekaan dari Spanyol dan menjadi bagian dari Republik Kolombia Raya (Republic of Gran Colombia). Pada pertengahan abad ke-19, lokasi strategisnya menarik perhatian AS, terutama karena negara tersebut berencana membangun kanal lintas samudra. Pada 1903, Perjanjian Herran-Hay ditandatangani, yang memberikan hak kepada AS untuk membangun sebuah kanal. Namun, perjanjian itu ditolak oleh badan legislatif Kolombia karena masalah kedaulatan.
Theodore Roosevelt, presiden AS kala itu, mengisyaratkan dukungannya terhadap kemerdekaan Panama dalam sebuah surat kepada temannya Alber Shaw, “Secara pribadi, saya katakan dengan terus terang kepada Anda bahwa saya akan gembira jika Panama menjadi negara merdeka, atau jika Panama mewujudkannya sekarang juga.”
Pada 3 November 1903, kapal-kapal perang AS mendukung pemberontakan yang berujung pada pemisahan diri Panama. Dalam hitungan hari, AS mengakui negara baru tersebut dan segera mengamankan Perjanjian Hay-Bunau-Varilla. Perjanjian ini memberikan kepada AS “hak penggunaan, pendudukan, dan pengendalian” atas zona kanal tersebut dalam jangka panjang dengan pembayaran yang ringan.
“Saya membuat Panama,” kata Roosevelt.
Pembangunan Terusan Panama dimulai di bawah kendali AS pada 1904 dan rampung pada 1914.
Zona Terusan Panama di sekitarnya, berupa jalur dengan lebar 16,09 kilometer yang mencakup 1.432 kilometer persegi, beroperasi sebagai “negara di dalam negara” di bawah yurisdiksi AS. Zona itu memiliki gubernur, administrasi, dan komando militernya sendiri, dengan bendera AS berkibar di zona tersebut.
Antara 1913 dan 1916, AS secara paksa merelokasi penduduk pribumi, membongkar kota-kota Panama dan menggusur sekitar 40.000 orang tanpa kompensasi yang memadai.
Sebuah surat yang disimpan di Arsip Nasional AS, ditandatangani oleh banyak korban dan dikirim pada 30 September 1914, menyatakan bahwa penduduk zona tersebut diperlakukan lebih buruk daripada “penjahat yang kejam”. Mereka tidak mendapatkan “tempat untuk tinggal dan makan, tanah dan rumah kami diambil tanpa dibayar sesuai nilai yang semestinya.”
Pada 1920-an, AS mencoba membentuk perjanjian Kellogg-Alfaro, tetapi ditolak karena perjanjian tersebut bertujuan untuk melegalkan kehadiran pasukan AS di tanah Panama.
“Perjanjian itu benar-benar mengubah Panama menjadi pangkalan militer AS, batu loncatan militer untuk seluruh Amerika Latin,” kata Julio Yao, mantan penasihat kebijakan luar negeri sekaligus presiden kehormatan Pusat Studi Strategis Asia Panama (Center for Asian Strategic Studies of Panama).
“Dunia telah memveto AS”
Perjuangan Panama selama puluhan tahun untuk merebut kembali kedaulatan atas Terusan Panama mencapai puncaknya pada tahun 1960-an. Aksi protes yang semakin mengeskalasi dan diplomasi internasional pada akhirnya mengubah hubungan Panama dengan AS.
Terinspirasi oleh nasionalisasi Terusan Suez Mesir pada 1956, rakyat Panama mengintensifkan seruan untuk merevisi Perjanjian Terusan Panama.
Pada 9 Januari 1964, ‘Protes Bendera’ mengeskalasi menjadi bentrokan kekerasan setelah penduduk AS di Zona Terusan Panama merobek bendera Panama, kenang Federico Alvarado (78), salah satu demonstran pada saat itu. Selama empat hari, pasukan AS menembaki para demonstran, mengakibatkan lebih dari 20 orang tewas dan ratusan lainnya terluka parah.
Aksi kekerasan tersebut mendorong Panama untuk mengajukan permohonan ke sejumlah lembaga internasional. Pada 1973, Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengadakan sebuah sesi yang jarang digelar di Panama City, dengan pemimpin Panama saat itu, mendiang Jenderal Omar Torrijos, menyampaikan pidato berapi-api yang mengutuk tindakan kolonialisme AS.
“Kami tidak pernah dan tidak akan pernah menjadi negara asosiasi, koloni, atau protektorat, dan kami juga tidak akan menambah jumlah bintang pada bendera AS,” tutur Torrijos.
Sebuah draf resolusi yang mendukung kedaulatan Panama didukung oleh 13 dari 15 anggota Dewan Keamanan PBB, dengan Inggris memilih abstain dalam pemungutan suara itu. Kendati demikian, AS menggunakan hak vetonya dan memblokir resolusi tersebut terlepas dari dukungan yang diperolehnya.
“AS telah memveto resolusi Panama, tetapi dunia telah memveto AS,” ungkap Juan Antonio Tack, menteri luar negeri Panama saat itu.
Veto tersebut membangkitkan simpati internasional terhadap perjuangan Panama. Dunia akhirnya memahami perjuangan Panama, sebut Yao.
Pada September 1977, Perjanjian Torrijos-Carter ditandatangani oleh Torrijos dan Jimmy Carter, presiden AS saat itu, yang menetapkan bahwa Terusan Panama akan diserahkan kepada Panama pada 31 Desember 1999.
“Amerika selalu menipu Panama dengan mengulur waktu dan tidak pernah meninggalkan Panama,” kata Yao.
Bahkan setelah menandatangani Perjanjian Torrijos-Carter pada 1977, AS masih terus mempertahankan dominasi strategisnya atas Terusan Panama.
Invasi AS ke Panama, yang dijuluki sebagai ‘Operation Just Cause’ oleh Washington, dimulai pada 20 Desember 1989 dan berlanjut hingga Januari 1990. Operasi tersebut diklaim dilakukan untuk menangkap penguasa Panama, Manuel Noriega, atas tuduhan perdagangan narkoba dan kejahatan terorganisasi.
Trinidad Ayola, wanita yang kini berusia 68 tahun dan suaminya tewas oleh pasukan invasi AS, mengatakan bahwa penderitaan dan ketidakadilan dari serangan militer 1989 akan selalu menghantuinya.
Sebelum Ayola kembali ke rumah dan mengetahui banyaknya warga Panama yang kehilangan nyawa, dia telah mencari sang suami di bandar udara, di mana dia bertemu sejumlah tentara AS yang “mengisi senjata mereka.”
“Rasanya seperti baru terjadi kemarin. Saya harus hidup dengan derita ini seumur hidup,” ungkap Ayola, presiden Asosiasi Kerabat dan Teman Korban Tragedi 20 Desember (Association of Relatives and Friends of the Fallen on December 20).
Lebih dari 26.000 tentara AS berpartisipasi dalam operasi itu, yang berujung pada penangkapan Noriega dan pembubaran Angkatan Bersenjata Panama. Invasi itu berdampak signifikan terhadap sejarah negara Amerika Tengah tersebut, menimbulkan korban yang tak terhitung jumlahnya dan gejolak politik.
“Menurut AS, tujuannya adalah untuk menyingkirkan Noriega … namun pada kenyataannya, yang mereka inginkan adalah menghancurkan pasukan pertahanan,” ujar Sebastian Vergara, yang memimpin asosiasi tersebut mulai 1996 hingga 2001. Ayah Vergara, yang merupakan warga sipil, menjadi satu dari begitu banyak korban tak berdosa dalam invasi itu.
Rolando Murgas, presiden Komisi 20 Desember, sebuah kelompok yang menyelidiki kebenaran di balik invasi itu, meyakini bahwa “invasi tersebut … bertujuan untuk menghancurkan semua tuntutan masa lalu dan martabat nasional kami.”
Komisi itu mendokumentasikan lebih dari 400 korban, mulai dari bayi berusia satu bulan hingga warga berusia 84 tahun.
Pada 2022, pemerintah Panama mendeklarasikan 20 Desember sebagai Hari Berkabung Nasional.
Vergara juga berupaya mendidik generasi mendatang perihal invasi tersebut. “Jika hal itu dijadikan mata pelajaran di sekolah, kaum muda akan menyadari bahwa situasi tersebut tidak boleh terulang lagi,” tuturnya.
“Melupakan adalah hal yang tidak boleh dilakukan,” ujar Ayola.
Panama untuk rakyat Panama
Pada 30 Desember 1999, di tengah guyuran hujan, bendera AS diturunkan untuk terakhir kalinya, digantikan oleh bendera Panama. Peralihan itu, yang diresmikan pada 31 Desember berdasarkan Perjanjian Torrijos-Carter, menandai dimulainya era baru bagi Panama.
“Dan kemudian, setelah transisi tersebut, hanya bendera Panama, yang ukurannya begitu besar, dikibarkan,” tutur Jorge Luis Quijano, mantan administrator Terusan Panama dari 2012 hingga 2019.
“Bagi dunia, hari itu hanyalah hari biasa, namun bagi rakyat Panama, itu adalah hari yang sangat penting,” ujarnya.
Memegang kendali penuh atas terusan itu, Panama meresmikan kantor polisi, pengadilan, dan undang-undang sipil di zona terusan tersebut, dengan warga Panama menggantikan personel AS dalam manajemen operasional.
Di bawah pemerintahan Panama, berbagai upaya signifikan dilakukan untuk memperluas kanal itu guna mengakomodasi kebutuhan pelayaran modern, terutama mengingat pintu air yang umurnya lebih tua kesulitan menangani kapal-kapal yang berukuran lebih besar. Perluasan terusan itu, yang rampung pada 2016, sangat penting untuk memosisikan Panama sebagai pemain utama dalam perdagangan global.
Saat ini, terusan itu menangani sekitar 5 persen dari perdagangan maritim global, mengukuhkan peran Panama sebagai pusat logistik, perdagangan, dan keuangan.
Zona Perdagangan Bebas Colon Panama merupakan salah satu zona perdagangan bebas terbesar di Belahan Bumi Barat. Bandar Udara Internasional Tocumen di Panama merupakan pusat transit penting yang menghubungkan benua Amerika. Panama City juga menjadi pusat finansial bagi Amerika Latin, menjadi lokasi kantor bank-bank besar dari benua Amerika, Eropa, dan Asia.
Signifikansi terusan itu tidak hanya mencakup perdagangan. Di Museum Terusan Panama, sebuah bendera yang dirobek saat “Protes Bendera” pada 1964 dan telah direstorasi mengingatkan para pengunjung pada pengorbanan yang dilakukan demi meraih kedaulatan. Tulisan berbunyi “Siapa yang menyebar bendera, akan menuai kedaulatan” (Who sows flags, reaps sovereignty) menjelaskan benda pameran itu.
“Kami merupakan bagian dari para patriot yang tidak ingin dilupakan,” kata Joaquin Vasquez, perwakilan dari Asosiasi Penjaga Terusan Panama.
Bagi Yao, perjalanan bangsa itu mencerminkan perjuangan yang lebih luas di Global South. Yao melihat kesamaan dengan kawasan-kawasan seperti Afrika dan Timur Tengah, sembari menyatakan bahwa sejarah bersama terkait dominasi dan ketahanan membentuk jalan mereka ke depan.
“Itu merupakan kebangkitan luar biasa bagi sebuah wilayah yang sebelumnya sangat miskin, sangat didominasi, sangat dicampuri (urusannya), dan sangat dimanipulasi. Saya rasa ada alasan untuk merasa optimistis,” tutur Yao.
“Saya sangat percaya pada Global South,” imbuh Yao. “Itu merupakan jalur yang benar.”
Laporan: Redaksi