Di tengah kemajuan teknologi informasi dengan sisi positif dan negatifnya, ternyata ada satu masalah krusial yang masih terkait media, yakni apa yang disebut Islamophobia. Islamophobia adalah ketakutan berlebihan yang tidak memiliki dasar berpikir kuat dan logis, bahkan dapat dikatakan mengada-ada tentang Islam.
Media massa Barat sering menggambarkan Islam sebagai agama yang penuh kekerasan, kebencian, egois, tidak toleran, dan membatasi pemeluknya dengan aturan-aturan yang ketat sehingga tidak memungkinkan adanya kebebasan.
Media massa di sana, dari koran, radio, televisi hingga media online secara kompak sering mempropagandakan anti-Islam melalui artikel dan karikatur-karikatur yang mendiskreditkan Islam. Denmark adalah negara yang dikenal kerap mempublikasikan karikatur penghinaan terhadap Nabi Muhammad ﷺ.
Di Belanda bahkan sempat ada partai politik yang secara resmi menyatakan anti-Islam. Partai politik tersebut dipimpin oleh seorang aktivis, Geert Wilders. Haluan politik Geert adalah kanan nasionalis yang liberal.
Geert dikenal sebagai seorang politikus anti-Islam dan anti-imigran. Pada 2008, ia bersama rekannya, Arnoud van Doorn membuat film pendek berjudul ‘Fitna’ yang menyulut kontroversi.
Film itu berisi tentang pandangan yang miring mengenai Islam dan Al-Qur’an. Film yang menggemparkan dan menyulut kemarahan Dunia Islam itu dirilis di internet pada 27 Maret 2008.
Geert juga pernah menyuarakan usulan agar Pemerintah Belanda melarang peredaran Al-Qur’an di negeri Eropa Barat tersebut. Pria kelahiran 6 September 1963 itu mengaku tidak punya masalah dengan para pemeluk Islam, tetapi ia sangat membenci ideologi mereka (ajaran Islam).
Tetapi satu hal yang mengejutkan terjadi, rekan Geert, yakni Arnoud Van Doorn ternyata kemudian masuk Islam (menjadi mualaf), bahkan menunaikan ibadah Haji pada 2013 sebagaimana diberitakan Saudi Gazette pada 23 April 2013.
Ia diberitakan memantapkan langkahnya sebagai seorang muslim dengan mengunjungi makam Nabi Muhammad ﷺ di Madinah. Di sana ia melaksanakan shalat dan memohon maaf karena menjadi bagian dari film Fitna yang menghujat Islam dan Rasulullah ﷺ.
Arnoud mengaku, kemarahan umat Islam yang mengutuk film Fitna yang dibuatnya bersama Geert Wilders ‘memaksanya’ untuk mempelajari Islam yang kemudian menuntunnya pada hidayah, yakni Islam Rakhmatan lila’lamin (yang memberi rakhmat untuk sekalian alam).
Terkait Islamophobia di Eropa, terakhir ditunjukkan oleh pernyataan Presiden Perancis Emmanuel Macron pada Oktober 2020 yang menggambarkan Islam sebagai agama yang sedang mengalami krisis serta menuding Islam sebagai gerakan radikal dan teroris yang menjadi ancaman terhadap Perancis sejak 2012.
Macron juga menyatakan tidak akan mencegah atau melarang penerbitan kartun yang menghina Nabi Muhammad ﷺ dengan dalih kebebasan pers dan kebebasan berekspresi.
Pernyataan Macron itu merupakan ungkapan intoleransi dan kebencian yang memalukan bagi kepala negara seperti Prancis, padahal jelas bukan ranah kepentingannya untuk mereformasi agama, apalagi Islam dimana Macron juga bukan seorang pemeluk Islam.
Sebagai pemimpin Perancis, Macron semestinya berbicara tentang Islam dengan rasa hormat, dan bukannya menghasut sebagian besar warganya dalam pidato yang tidak bertanggung jawab terhadap Islam dan agama lain, sekedar untuk memuaskan sekelompok fanatik di Perancis agar bersimpati kepadanya.
Penghinaan kepada Nabi Muhammad ﷺ dalam karikatur itu sendiri bukanlah kebebasan pers dan kebebasan berekspresi. Sikap seperti itu dapat memicu gesekan yang meluas dan konflik horizontal di Perancis sebagai negara yang memiliki populasi Muslim terbesar di Eropa.
Pembenaran tindakan penghinaan dengan kedok kebebasan pers dan kebebasan berekspresi merupakan kekeliruan pandangan tentang perbedaan antara hak asasi manusia dalam mendapatkan kebebasan dan kejahatan terhadap kemanusiaan atas nama mendukung kebebasan.
Pernyataan Macron yang kontroversial itu menunjukkan sikap Islamophobia serta mempraktikkan kebencian dan diskriminasi terhadap umat Islam dan simbol-simbol yang disakralkannya, dimana hal itu juga merupakan pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia (HAM).
Penulis: Aat Surya Safaat [wartawan senior/Wakil Sekretaris Komisi Infokom Majelis Ulama Indonesia (MUI); penasihat Forum Akademisi Indonesia (FAI); Kepala Biro Kantor Berita ANTARA di New York Amerika Serikat (1993-1998)].