Banner

Barat tuduh China rebut teritorial Laut China Selatan dengan banyak konstruksi

Kepulauan Spratly, yang secara historis kecil dan tidak berpenghuni, memiliki signifikansi geopolitik yang lebih besar karena berada di salah satu jalur pelayaran tersibuk di dunia dan dapat memiliki signifikansi militer, terutama jika ketegangan atas Taiwan memicu perang regional. (Indonesia Window/Google Earth)

Kepulauan Spratly, yang secara historis kecil dan tidak berpenghuni, memiliki signifikansi geopolitik yang lebih besar karena berada di salah satu jalur pelayaran tersibuk di dunia dan dapat memiliki signifikansi militer, terutama jika ketegangan atas Taiwan memicu perang regional.

 

Jakarta (Indonesia Window) – China sedang membangun beberapa fitur tanah kosong di Laut China Selatan, menurut pejabat Barat baru-baru ini. Mereka menyebut bahwa langkah itu belum pernah terjadi sebelumnya dan merupakan bagian dari upaya jangka panjang Beijing untuk memperkuat klaim atas wilayah yang disengketakan, yang penting bagi perdagangan global itu.

Sementara China sebelumnya telah membangun terumbu karang, pulau, dan formasi tanah yang disengketakan di daerah yang telah lama dikuasainya—dan memiliterisasinya dengan pelabuhan, landasan pacu, dan infrastruktur lainnya—para pejabat menunjukkan gambar dari apa yang mereka sebut sebagai contoh pertama yang diketahui dari suatu negara yang melakukannya, di wilayah yang belum ditempatinya.

Mereka memperingatkan bahwa aktivitas konstruksi terbaru Beijing menunjukkan upaya untuk memajukan status quo baru, meskipun masih terlalu dini untuk mengetahui apakah China akan berusaha memiliterisasi wilayah ini.

Armada penangkap ikan yang beroperasi sebagai milisi maritim de facto di bawah kendali pihak berwenang di Beijing telah melakukan kegiatan konstruksi di empat fitur di Kepulauan Spratly yang tak dihuni selama dekade terakhir, menurut para pejabat, yang meminta untuk tidak disebutkan namanya karena membahas informasi sensitif.

Beberapa gundukan pasir dan formasi lain di area tersebut meluas lebih dari 10 kali lipat dalam beberapa tahun terakhir, kata mereka.

Para pejabat mengatakan, formasi tanah baru telah muncul di atas air selama setahun terakhir di Eldad Reef di Spratly utara, dengan gambar yang menunjukkan lubang besar, tumpukan puing dan jejak ekskavator di sebuah situs yang dulunya hanya terbuka sebagian saat air pasang.

Sebuah foto karang tahun 2014, yang sebelumnya dilaporkan telah diambil oleh militer Filipina, telah menggambarkan apa yang dikatakan para pejabat sebagai kapal maritim China yang sedang membongkar muatan ekskavator hidrolik amfibi yang digunakan dalam proyek reklamasi lahan.

Mereka mengatakan kegiatan serupa juga terjadi di Lankiam Cay, yang dikenal sebagai Pulau Panata di Filipina, di mana sebuah fitur telah diperkuat dengan tembok pembatas baru hanya dalam beberapa bulan tahun lalu. Gambar lain yang mereka sajikan menunjukkan perubahan fisik di Whitsun Reef dan Sandy Cay, di mana fitur yang sebelumnya terendam sekarang berada secara permanen di atas garis air pasang.

Diminta untuk menanggapi klaim tersebut, Kementerian Luar Negeri China di Beijing mengatakan, “Laporan itu dibuat tanpa mempertimbangkan dengan hati-hati atau menggunakan informasi yang benar.”

China menegaskan hak atas lebih dari 80 persen Laut China Selatan berdasarkan peta tahun 1947 yang menunjukkan tanda-tanda samar yang kemudian dikenal sebagai ‘garis sembilan putus’ (nine-dash line). Pihk China sebelumnya mengatakan memiliki hak berdaulat untuk membangun di atas wilayahnya sendiri.

Ketegangan antara China dan pengklaim lainnya di Laut China Selatan — Filipina, Taiwan, Malaysia, Indonesia, Vietnam, dan Brunei — telah meningkat selama bertahun-tahun.

Beijing berinvestasi lebih banyak pada kapal angkatan laut dan penjaga pantai untuk menegakkan klaimnya. Kepulauan Spratly, yang secara historis kecil dan tidak berpenghuni, memiliki signifikansi geopolitik yang lebih besar karena berada di salah satu jalur pelayaran tersibuk di dunia dan dapat memiliki signifikansi militer, terutama jika ketegangan atas Taiwan memicu perang regional.

Tindakan China telah mendorong negara-negara lain di kawasan itu untuk meningkatkan pengeluaran pertahanan dan juga melakukan pekerjaan reklamasi. Vietnam memperluas pekerjaan pengerukan dan penimbunan di beberapa pos Spratly tahun ini, menurut laporan bulan ini oleh Asia Maritime Transparency Initiative.

Filipina bulan ini memprotes kapal-kapal China yang mengerumuni dua karang di dekat Reed Bank, wilayah yang disengketakan di mana kedua negara telah membahas kemungkinan rencana eksplorasi minyak dan gas bersama. Tahun lalu, Filipina juga mengumpulkan kapal-kapal di Whitsun Reef, yang terletak sekitar 175 mil laut (324 kilometer) di sebelah barat negara itu, setelah lebih dari 200 kapal milisi China terlihat melakukan manuver pengerumunan serupa.

Jauh sebelum lonjakan ketegangan baru-baru ini, Beijing menandatangani ‘deklarasi perilaku’ (declaration of conduct) yang tidak mengikat dengan negara-negara Asia Tenggara pada tahun 2002 yang meminta pihak-pihak untuk menahan diri dari “menghuni pulau, terumbu karang, beting, pulau karang, dan fitur lainnya yang saat ini tidak berpenghuni.”

Pada tahun 2016, pengadilan internasional yang didukung oleh PBB memutuskan dalam kasus yang diajukan oleh Filipina bahwa klaim China tidak memiliki dasar hukum. China menolak putusan itu, dengan mengatakan pengadilan tidak memiliki yurisdiksi, dan terus mengirim ribuan “kapal penangkap ikan” ke lahan yang disengketakan.

Amerika Serikat (AS) telah berulang kali mengkritik tindakan China di Laut China Selatan, dan berusaha menantang klaim teritorialnya dengan apa yang disebut operasi kebebasan navigasi.

Menteri Pertahanan AS Lloyd Austin mengatakan bulan ini bahwa AS sedang membangun postur kekuatan yang lebih mematikan di Indo-Pasifik sebagai bagian dari upaya untuk memastikan China tidak mendominasi kawasan tersebut.

China adalah “satu-satunya negara dengan kemauan dan, semakin, kekuatan untuk membentuk kembali wilayahnya dan tatanan internasional agar sesuai dengan preferensi otoriternya,” katanya pada 3 Desember. “Jadi saya tegaskan, bahwa kami tak akan membiarkan itu terjadi.”

Sumber: Bloomberg; Al Arabiya English

Laporan: Redaksi

Tinggalkan Komentar

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Iklan