Banner

Karst Maros Pangkep simpan 75 persen gambar cadas Indonesia

Seorang pengunjung mengamati maket Karst Maros-Pangkep di Museum Karst Indonesia di Wonogiri, Jawa Tengah, pada 12 Juni 2025. (Indonesia Window)

Kawasan Karst Maros-Pangkep, Provinsi Sulawesi Selatan, tersebut memiliki gambar cadas purba paling banyak di Indonesia.

 

Bogor, Jawa Barat (Indonesia Window) – Hasil penelitian arkeologi dari Pusat Riset Arkeometri BRIN (Badan Riset dan Inovasi Nasional) di Kawasan Karst Maros-Pangkep, Provinsi Sulawesi Selatan, menunjukkan lokasi tersebut memiliki gambar cadas purba paling banyak di Indonesia.

Dari seluruh gambar cadas yang ditemukan di Tanah Air, sebanyak 75 persen ditemukan di kawasan tersebut, menurut periset Pusat Riset Arkeometri BRIN  Adhi Agus Oktaviana.

“Kawasan ini paling beragam dan kompleks dalam memahami banyak segi kehidupan manusia prasejarah dan transformasinya. Terutama seni purba yang menjadi gambar visual sejarah seni dan pengetahuan umat manusia,” ungkap Adhi dalam paparan yang disampaikannya pada Konferensi Internasional Gau Maraja 2025 bertema ‘Leang-Leang Maros as the Gateway to Ancient Human in the World’, di Maros, Sabtu (5/7), dikutip dari situs jejaring BRIN, Senin.

Di Leang Karampuang, katanya, terdapat gambar cap tangan, babi besar, babi beranak, babi kecil dan kepala anoa. Dari gambar-gambar tersebut, yang paling menarik adalah gambar kumpulan babi-rusa berumur 51.200 tahun silam.

Banner

“Ada pola-pola khusus pada gambar cadas di Sulawesi Selatan, yaitu gambar-gambar tangan jari runcing. Gambar dengan pola tersebut tidak hanya ada di Maros Pangkep, tetapi tersebar hingga ke Sulawesi Tenggara. Sebaran penemuan gambar yang sejenis jari tangan runcing dapat menunjukkan adanya pola migrasi,” terang Adhi.

Secara substantif, Kepala Pusat Riset Arkeologi Sejarah dan Prasejarah (PR APS) BRIN, Muhammad Irfan Mahmud, menjelaskan, lukisan temuan dari situs Maros Pangkep adalah ensiklopedi pengetahuan.

“Semua lukisan merupakan sebuah ensiklopedi sejarah yang berisi pengetahuan dari orang-orang terdahulu. Contohnya berupa pola gambar situs gua, sebagai pengetahuan ensiklopedi. Jangan menganggap orang prasejarah itu hanya duduk di gua dan hidup sekedar mencari makan sekadar konsumsi. Mereka secara kodrati juga sudah punya proses berpikir mulai dari taraf sederhana,” jelas Irfan.

Dia menyampaikan, studi kasus di Leang Tianang di Maros menunjukkan, gambar flora dan fauna pada situs itu merupakan bio-indikator yang memiliki nilai bagi ekologi. Visualisasi motif flora dan fauna pada situs tersebut tidak hanya sebagai gambaran mitos, tetapi mengandung pengetahuan ekologi secara simbolik.

“Visualisasi motif gambar merefleksikan kosmologi dunia bawah yaitu fauna air. Perahu menggambarkan dunia manusia, lalu ada nipah sebagai dunia atas (ruh) di mana orang Bugis menyebutnya tori langit. Nipah bagi penduduk pesisir merupakan simbol dari langit batas kosmografi, sedangkan tunas nipah menggambarkan lambang pertumbuhan, kesuburan dan kelahiran kembali,” urai Irfan Mahmud.

Laporan: Redaksi

Banner

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Banner

Iklan