Jakarta (Indonesia Window) – Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) bekerja sama dengan Pemerintah Inggris pada Kamis (30/7) meluncurkan program Mentari (Menuju Transisi Energi Rendah Karbon Indonesia).
Program kemitraan ini bertujuan mendukung pemulihan aktivitas ekonomi hijau di tanah air melalui percepatan pencapaian target bauran energi sebesar 23 persen di tahun 2025, menurut pernyataan kementerian yang dikutip di Jakarta, Sabtu.
Sekretaris Jenderal Kementerian ESDM Ego Syahrial menyatakan, komitmen pemerintah mengurangi emisi sekaligus mewujudkan akses energi ke masyarakat akan selalu mempertimbangkan aspek lingkungan sehingga pemanfaatannya bisa berkelanjutan.
“Komitmen Indonesia mengurangi emisi hingga 29 persen di tahun 2030 adalah upaya kami menuju energi bersih. Untuk mencapai hal tersebut, kami saat ini sedang mempersiapkan Peraturan Presiden tentang Feed in Tariff untuk menggenjot pemanfaatan Energi Baru dan Terbarukan khususnya di wilayah 3T (terdepan, terluar, dan tertinggal),” kata Ego dalam peluncuran program tersebut.
Langkah nyata yang dilakukan pemerintah adalah mengkonversi pembangkit-pembangkit listrik berbasis fosil yang menghasilkan emisi tinggi dengan pembangkit berbasis energi baru dan terbarukan (EBT).
Berdasarkan hasil inventarisasi Kementerian ESDM, ada 2.246 unit Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD); 23 unit Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU); dan 46 Pembangkit Listrik tenaga Gas Uap (PLTGU) yang akan dikonversi dalam waktu tiga tahun.
“Pembangkit yang dikonversi berusia lebih dari 15 tahun untuk PLTD, dan lebih dari dari 20 tahun untuk PLTU dan PLTGU,” jelas Ego.
Program Mentari yang berjalan sepanjang 2020 – 2030, menurut dia, merupakan salah satu terobosan penting dalam proses transisi energi guna menstimulus perekonomian Indonesia di tengah pandemik COVID-19.
“Kehadiran Mentari ini sangat tepat. Kami optimistis bahwa program ini mampu menciptakan pertumbuhan ekonomi inklusif serta menekan kemiskinan melalui pengembangan sektor energi terbarukan,” tutur Ego.
Dia mengatakan, kebijakan pembatasan fisik dan isolasi untuk mencegah penyebaran COVID-19 berdampak signifikan pada penurunan konsumsi global.
Selama masa pembatasan tersebut, konsumsi bahan bakar fosil lebih rendah 17,6 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
Di sisi lain, emisi karbondioksida menurun signifikan.
“Oleh karena itu, selama masa pandemi, produksi energi harus disesuaikan dengan mempercepat proses transisi energi bersih,” katanya.
Kementerian beranggapan Inggris sudah lebih berpengalaman dalam pengembangan energi terbarukan.
Inggris dinilai sebagai negara tersukses di dunia yang berhasil mengurangi pemakaian energi fosil secara drastis sejak terjadi pandemik.
Laporan: Redaksi